NC 15

2.5K 159 2
                                    

Mataku terpaku pada sosok yang masih tertidur pulas di sampingku, pose dengan mulut terbuka dan dengkurannya bahkan kuabaikan. Aku masih tak percaya dengan kejadian beberapa jam yang lalu, tapi melihat posisi dan kondisi kamar kami yang berantakan cukup membuatku yakin kalau yang terjadi semalam adalah benar-benar kenyataan. Ditambah dengan rasa nyeri di pangkal pahaku makin menyadarkanku kalau kini aku sudah tak lagi perawan. Yaa, siapa lagi pelakunya kalau bukan Daffa, laki-laki yang memang berhak memerawaniku sejak dia menikahiku enam bulan yang lalu. Tapi karena keegoisanku dia baru bisa melakukannya semalam. Kalau Bunda dan Bang Yoga sampai tahu, aku pasti sudah habis dimarahi mereka.

Sikap Daffa berubah drastis setelah aku mengatakan bahwa aku tidak akan menolaknya jika dia sudah benar-benar sembuh. Dan benar saja, keesokan harinya dia memaksaku menemaninya ke rumah sakit padahal sebelumnya dia menolak keras saat aku mengajaknya untuk berobat. Seakan tidak mau membuang-buang waktu, dia langsung menagih janjiku setelah dia dinyatakan sembuh total oleh dokter dua hari kemudian.

Tidak mau mengecewakannya lagi, akhirnya aku menepati janjiku padanya. Selain menyiapkan mental aku pun berusaha menciptakan suasana yang romantis agar kami berdua nyaman dalam melakukannya, karena walau bagaimanapun juga ini adalah pertama kalinya untuk kami berdua. Dengan berbekal artikel yang kubaca, aku mengganti seprei di kamar kami dengan warna pink, aromatherapy dari bunga Geranium, serta satu lembar lingery warna merah menyala yang merupakan kado pernikahan dari Kak Luna yang sama sekali belum kupakai.

Meski gugup setengah mati, kami berdua pada akhirnya bisa menyempurnakan ibadah kami. Aku memang belum mencintainya, tapi aku akan berusaha untuk menjadi isteri terbaik untuknya.

Lama melamun sampai-sampai aku tak sadar kalau laki-laki disampingku sudah terbangun dan sedang menatapku sambil senyum-senyum. Membuatku salah tingkah apalagi kondisi kami yang sekarang hanya terbalut selimut.

"Ke..kenapa senyum-senyum? Apa ada yang lucu?" Tanyaku gugup yang malah membuatnya tertawa pelan.

Dia mengangguk "Iya, kamu lucu kalau lagi salah tingkah begini." Dia mencubit pipiku gemas, "Ngelamunin apa? Ngelamunin yang semalam ya." Tanyanya dengan kerlingan jahil seperti biasanya.

"Sok tau..."

Dia berdecak sebal "Jangan galak-galak sama suami, nanti kualat loh."

"Biarin."

Dan dia malah tertawa, "Begini baru Nayla, aneh kalo ngeliat kamu gugup dan salah tingkah begitu. Walaupun bikin gemes sih, tapi aku lebih suka Nayla yang seperti biasanya. Ngeyel dan keras kepala. "

Mendengar ucapan absurdnya membuatku refleks melemparnya dengan bantal, apa maksudnya dia bicara seperti itu? Apa iya aku ini orangnya ngeyel dan keras kepala? Nanti biar kutanyakan sendiri pada keluargaku.

"Ayolah Nayla sayang, jangan kasar begitu. Kamu ngga inget semalam kamu..."

Aku menutup kedua telingaku seraya berteriak "Stop. Jangan bahas kejadian semalam, Daff. Aku...aku..."

Daffa menatapku serius, heran kenapa aku sampai berteriak begitu "Kenapa?"

Kubalas tatapannya. Dia masih menunggu jawabanku "Aku...malu." jawabku jujur, masa bodoh kalau dia akan menertawakanku setelah mendengarnya.

Dia mengacak rambutku, tersenyum tanpa ada kesan jahil "Ngga perlu malu, Nay! aku kan suamimu. Jangan pernah sungkan atau ragu untuk mengungkapkan isi hati dan pikiranmu. Tapi kalau kamu keberatan aku membahas soal semalam ngga apa-apa, aku ngerti kok."

Aku diam, berharap dia tidak salah paham dengan ucapanku tadi.

"Apa kamu menyesal?"

Aku langsung menggeleng cepat "Tentu saja ngga, kenapa kamu berpikir seperti itu?"

Nayla CanggungWhere stories live. Discover now