08○

85 13 16
                                    

Devan, Deana dan Citra duduk terdiam di kantor guru. Tidak ada yang mulai berbicara duluan sampai suara Pak Tandiono yang menginterupsi.

"Jadi ini kalian ngga ada yang mau cerita, bagaimana kejadiannya?" tanya Pak Tandiono.

Devan menatap Deana yang merasa risih dengan rambutnya yang masih basah akibat siraman Citra.

"Harus kita yang cerita. Kalau dia yang cerita, pasti bakal ada bumbu penyedap rasa. Yakin gue," bisik Devan kepada Deana sambil menunjuk Citra yang menunduk.

Deana yang mendengar hal tersebut hanya bisa menahan tawa. Tapi ia sama sekali tidak berniat menceritakan kejadian tadi kepada Pak Tandiono.

"Pak, tadi pagi kan jadwal saya piket buat ngepel lantai. Terus embernya saya letak kursi. Dan pas Deana masuk saya ngga sengaja kesenggol embernya jadi jatuh kena Deana," jelas Citra tidak masuk akal.

"Lah, kalau kesenggol seharusnya cuma kena bagian bawah gue doang dong. Ngga sampai rambut gue juga basah," dengus Deana.

"Mungkin embernya terbang? Kayak naga terbang di film sinetron?" tanya Devan menatap Deana dengan wajah polosnya.

Deana tidak bisa menahan ketawanya lagi dan tertawa sangat kuat. Dan Devan langsung menyenggol lengan perempuan itu, menyadarkan bahwah mereka sedang di kantor guru.

Pak Tandiono berdeham kuat. Deana langsung berhenti tertawa dan kembali diam.

"Jadi bisa jelasin gimana bisa Deana basah dari atas kepala sampai ujung kaki?" ucap Pak Tandiono dengan penuh penekanan.

Mata Citra mulai berair, "Saat itu, Deana sedang jongkok untuk mengingkat tali sepatunya. Terus pas saya sudah minta maaf tapi Deana malah ngga terima terus ngatain saya. Pas saya ngatain balik. Dia ngga terima lalu nampar saya."

"Wah. Nilai Bahasa Indonesia lo tinggi nih pasti. Pinter banget mengarangnya. Buat novel gih sana," sindir Devan.

Pak Tandiono menatap Deana, "Benar begitu?"

"Tidak. Saat saya masuk kelas dia tiba-tiba sudah nyiram saya, Pak. Saksi banyak kok," ucap Deana sambil tersenyum penuh kesinisan.

Citra yang mendengar hal tersebut mulai terisak sangat kuat. Deana memutar bola matanya malas.

"Oh? Dia pake obat tetes mata tuh? Kok deres amat?" bisik Devan kepada Deana tetapi cukup kuat untuk didengar oleh Citra dan Pak Tandiono.

Deana hanya terkekeh. Sedangkan Citra mendengus.

"Jadi ini yang benar siapa?" tanya Pak Tandiono bingung.

"Menurut hati bapak siapa? Hayo," celetuk Devan yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Pak Tandiono.

"Kamu yah, dari tadi komen mulu kerjaannya. Sudah sana panggilin Sheren, sekretaris kelas kalian," pinta Pak Tandiono.

Devan menggerutkan dahinya, "Ngga bisa, Pak. Tar Deana sendirian. Saya ngga tega ninggalin Deana sama mak sama pak lampir."

"Heh kamu bilangin saya pak lampir?! Berani-"

Belum sempat Pak Tandiono selesai bicara, Devan sudah meninggalkan kantor guru dengan berlari.

Pak Tandiono hanya bisa mengelus dadanya sabar. Lalu, terdengar suara ketukan pintu dan muncul dua orang wanita paruh baya.

Deana hanya bisa tersenyum kecut, menyadari bahwa diantara kedua wanita paruh baya tersebut tidak terdapat ibunya.

Santika, ibu Citra langsung memeluk anaknya yang sedang menangis. "Ini anak saya kenapa?!"

"Citra ditampar, Ma," ucap Citra sesenggukan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 03, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Devan & DeanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang