BAB 9 : Her Feeling

Start from the beginning
                                    

Jeha menggeleng cepat. "Enggak, Kak. Aku habis ini dijemput, nih lagi otw supirnya." Dia menunjukkan ponselnya, meski sebenarnya hanya alasan semata. Dia tak mungkin tega menggangu kesenangan sahabatnya.

"Ooh, yaudah. Ayo Steff, Kakak anterin."

Steffi linglung. Takut akan getaran hatinya. Meski begitu gadis berambut cokelat itu tetap mengikuti langkah Daniel, sebelum berpamitan kepada semuanya.

***

"Kenapa diem gitu? Takut dimarahin?" Daniel yang tak tahan akan suasana hening sejak lima menit perjalanan itu akhirnya membuka keheningan, membuat obrolan.

Steffi tersenyum kikuk. Dia menggeleng kemudian tersenyum lagi membuat Daniel gemas dengan tingkah gadis berseragam itu.

"Kamu lucu banget sih, Dek." Daniel mengacak poni gadis itu membuat empunya menahan napas.

Steffi sesak atau lebih tepatnya dia kurang tahu bagaimana cara untuk bernapas saat ini. Tangannya berkeringat seolah AC yang ada di dalam mobil tak berfungsi dengan benar.

"Oh ya Dek. Kenapa sekarang jarang chat Kakak?"

Steffi menoleh menatap lelaki bermata sipit itu dengan linglung. Sebegini besarkah efek Daniel Defandra baginya?

"Emang boleh ya, Kak?"

Daniel tertawa, "Kenapa enggak?"

"Eum..." Steffi memilin jemarinya, "kan Kakak udah punya pacar."

Lelaki itu mengulum senyuman, "Emang kalo kita pacaran ada larangannya buat chatting sama orang lain?"

Steffi menggeleng. Orang lain kan? Orang lain yang dikatakan Daniel serasa ambigu. Bisa untuk teman, sahabat, guru, atau mungkin calon selingkuhan. Eh?

"Yaudah, udah tau kan? Chat Kakak aja, Dek. Lagian kamu satu club kan sama Yona?"

"Iya, Kak." Steffi berujar dengan rautan wajah malas.

"Mau makan?" tawar Daniel yang membuat Steffi berpikir. Jika dia menerima ajakan Daniel itu artinya kesempatan bagi dia untuk bersama Daniel semakin banyak. "Ah lama lo, Dek. Makan aja ya, gue gak mungkin ngater anak orang dengan keadaan perut kosong gitu."

Aduh, boyfie material banget sih, Kak?

***

Dari sekian ratus tempat makan yang ada di Jakarta, mengapa dirinya harus dipertemukan oleh sosok orang yang telah masuk dalam daftar list orang-orang yang dibencinya?

Steffi membuang muka. Sengaja, ketika pandangan matanya bertubrukan dengan Iqbaal. Steffi meremas roknya tanpa sadar. Dia marah, kecewa, dan juga tak habis pikir dengan Iqbaal.

Sahabatnya, Salsha, baru saja tertimpa musibah hingga dilarikan ke rumah sakit dan dia menemukan sosok yang amat dicintai sahabatnya tengah bahagia dengan gadis lain.

"Mau pesen apa, Dek?"

"Terserah Kakak aja ya. Aku mau ke kamar mandi dulu," ujar Steffi yang dibalas anggukan oleh Daniel.

Steffi berjalan menuju ke kamar mandi tanpa melirik ke arah Iqbaal yang tengah memandangnya. Gadis bersurai itu bergegas mengeluarkan ponsel ketika sampai di lorong menuju kamar mandi. Punggungnya di sandarkan pada dinding sembari menunggu panggilannya tersambung.

"Iya halo Stef?" Suara Jeha diseberang sana membuat Steffi langsung menegakkan tubuhnya. Dia memandang serius ke arah depan meski tak ada objek yang menarik perhatian.

"Jeh, lo harus percaya sama apa yang gue liat!" Steffi mengucapkan dengan nada menggebu-gebu.

"Hah?"

Steffi berdecak, "Jeh! Jangan mulai deh..."

"Ya elonya enggak jelas! Bilang yang detail dan pelan-pelan."

Steffi menarik napasnya berusaha meredam emosi yang telah menguar, dia mengembuskan napasnya pelan. Hendak berbicara sebelum seseorang menyambar ponselnya.

Steffi kaget. Dia menatap cengo ke arah Iqbaal yang saat ini memandangkan dengan sarat marah.

"Maksud lo apaan?" Jika kalian mengira kata itu meluncur dari mulut Steffi maka jawabannya adalah tidak. Kata itu. Iqbaal lah pengucapnya.

Steffi semakin bingung. Bukankah dia pihak tak bersalah di sini? Dia juga heran mengapa tiba-tiba Iqbaal datang dengan tidak sopannya mengambil ponselnya, pun kata yang dilontarkan.

"Lo sehat?"

"Jangan ngebuat dia semakin terbebani." Iqbaal berkata dengan nada memohon. Tatapan sayu dan putus asanya membuat Steffi menarik alisnya.

"Maksud lo Salsha?"

"Gue gak mau dia semakin sakit kalo lo bilang tentang apa yang lo liat. Lo tau kan gimana Salsha. Lo tau sendiri gimana tempramennya dia."

"Jadi lo bakal bilang sendiri ke dia?"

Ada jeda lama ketika Iqbaal hendak menjawab. Laki-laki itu memandang ke arah Steffi seolah hendak memberi pengertian. Takut jika apa yang diucapkannya salah.

"Dan ngebiarin dia nyerang Vanesh? Steff, gue cuma mau ngelindungi dia. Dia yang gue sayang. Pacar gue. Cewek yang saat ini jadi prioritas gue."

***

Perkataan Iqbaal tadi mengiang di kepala Steffi. Terus hingga dia merasa pusing. Bahkan, Steffi mengabaikan sosok tampan yang ada di sampingnya. Daniel yang menatapnya penuh penasaran.

"Lagi mikirin apa sih, Dek? Kok keliatannya serius banget."

"Hah?"

Daniel mengetapkan bibirnya, laki-laki itu tertawa kemudian mengacak rambut gadis SMA itu dengan gemas. Tentu tingkahnya membuat beberapa orang akan berpresepsi mereka menjalin hubungan.

"Gak apa-apa kok, Kak." Steffi tersenyum canggung menutupi kegundahan hati serta keadaan jantungnya yang meloncat-loncat.

Ada banyak hal yang dia pikirkan, semacam perasaan Salsha nantinya jika tahu kebenarannya.

Bila nanti sahabatnya tahu jika sang pujaan telah berganti hati. Bila sang pujaan yang diharapkan tak memiliki rasa yang sama.

***

What do you think about this part?

Cium beceq
-Bieber.

My Sweetest ExWhere stories live. Discover now