c h a p t e r t h r e e

8.6K 1.2K 35
                                    

PEKIKAN yang keluar dari mulutku hampir menyamai bunyi jeritan sesosok makhluk bernama Banshee yang pernah kulihat di salah satu serial fantasi berjudul Teen Wolf, jenis jeritan panjang nan melengking yang dapat merobek gendang telingamu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

PEKIKAN yang keluar dari mulutku hampir menyamai bunyi jeritan sesosok makhluk bernama Banshee yang pernah kulihat di salah satu serial fantasi berjudul Teen Wolf, jenis jeritan panjang nan melengking yang dapat merobek gendang telingamu. Aku terlompat mendengar pekikanku sendiri, yakin beribu-ribu persen kalau sebentar lagi orangtuaku–atau tetangga samping rumahku akan memarahiku karena menimbulkan gaduh, tapi aku terlalu panik untuk memperdulikan norma kesopanan dalam menjaga kenyamanan orang lain. Malachai Revel menyusup ke dalam rumahku!

Tanganku dengan kasar mengambil salah satu sling bag dari tiang gantungan tas yang berdiri tidak jauh dari jangkauanku dan melemparkannya ke arah Malachai. Laki-laki itu menghilang dalam sedetik untuk menghindari lemparan tas dan muncul lagi, kali ini lebih dekat di depanku. Aku memekik lagi, tubuhku berputar untuk kabur, tangan melingkar di gagang pintu. Namun, pintu kamarku terkunci.

Aku mengguncang-guncang gagang pintu hingga daun pintu kamarku bergetar sambil menjerit-jerit memanggil Mom, Dad, dan Luke. Mereka semestinya mendengar jeritan lima oktafku di ruang keluarga dan segera menyusul ke sini! Tapi, aku tidak mendengar tanda-tanda kedatangan mereka ke sini.

Menyerah dengan rencana kaburku yang gagal, aku kembali menghadap Malachai Revel dengan jantung yang berdetak liar seperti hendak meledak dalam dada dan mata yang terbuka lebar-lebar. Bagaimana bisa Malachai Revel memasuki kamarku tanpa diketahui oleh Mom, Dad, dan Luke? Satu-satunya jalur untuk pergi ke sini adalah melalui pintu depan, karena kamarku terletak di lantai dua. Kalaupun Malachai Revel jago memanjat dan masuk lewat jendela, kesannya tidak mungkin. Tidak ada apa-apa di dinding luar jendela yang dapat dijadikan pijakan kokoh untuk memanjat.

Kemudian aku teringat akan pembicaraanku dengan Colton sewaktu kami di pemakaman beberapa saat lalu. Soal Malachai yang tiba-tiba menghilang dari hadapan Colton seperti hantu dan polisi tidak bisa menemukannya di mana pun.

Meski akal sehatku yang mengedepankan logika melawan-lawan suatu pemikiran yang terbit di benakku, aku mulai punya keyakinan kalau Malachai ini terlalu kuat untuk menjadi sekadar roh pemakaman yang marah karena kami berpesta di tempat peristirahatannya. Ada sesuatu dalam dirinya yang memancarkan kekuatan tak masuk akal. Udara di dalam kamarku mendadak menyesakkan dan pengap oleh hawa panas.

Masih dengan penampilan tubuh bagian atas yang terekspos tanpa sehelai kain yang menutupi dan kalung kristal hitam aneh di leher, Malachai bergeming di depanku, sepasang mata cokelatnya senantiasa mengawasiku–seolah dia bersiap untuk memberiku kejutan selanjutnya. Tapi, aku tidak mau kejutan dan aku ingin dia pergi dari kamarku secepatnya dan tidak pernah kembali lagi. Yang meresahkan, dia sepertinya tidak berniat untuk pergi dalam waktu dekat dari kamarku.

Kepalaku memutar ulang konfrontasi singkat kami di kabin. Malachai mengaku kepada Colton dan aku kalau dia jatuh sendirian dan terjebak terlalu lama di tempat ini. Pengakuan yang aneh, aku tahu. Tapi, bukan itu inti dari kecemasanku akan keberadaannya di sini. Aku belum melupakan ucapan laki-laki ini yang mengatakan kalau dia punya semacam keterikatan denganku dan jika aku tak segera membantunya, dia bisa dilucuti. Mengapa dan oleh siapa dia dilucuti, dan kenapa namaku ikut terbawa ke dalam urusannya, aku tidak tahu. Tapi, Malachai sempat mencetus suatu panggilan yang dirujukkan kepadaku ketika Colton bicara padanya untuk pertama kali.

The Fallen's RedemptionWhere stories live. Discover now