Menjadi Seorang Intovert

2.2K 96 1
                                    

Ketika gue lagi scrolling down comment section salah satu video YouTube gue, gue menemukan satu komen yang menarik.

Ketika gue lagi scrolling down comment section salah satu video YouTube gue, gue menemukan satu komen yang menarik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yes, I am an introvert. Untuk orang-orang yang tau kalau gue adalah seorang introvert mungkin mereka bingung melihat bagaimana gue mem-portray diri gue di sosial media. Terutama di video-video gue. Di mana gue terlihat tidak memiliki kesulitan untuk bersosialisasi dengan orang. Firstly, I can tell you that I'm not an ambivert. Gue masih seorang introvert seperti gue dulu, gue masih lebih nyaman 3 hari nggak keluar rumah, gue masih suka males ngangkat telefon, gue masih suka menunda-nunda bales chat orang, dan gue masih tergolong dalam geng INTJ female. Untuk yang nggak tau apakah itu INTJ, INTJ adalah salah satu dari 16 Myers-Brigg traits yang ada pada manusia. Fyi, cewek INTJ adalah yang paling rare. Di dunia ini cuma ada 1% dari kami. INTJ sendiri adalah salah satu trait yang paling jarang dan hanya terdapat 3% dari seluruh populasi di dunia. Isaac Newton was an INTJ. Begitu juga dengan Stephen Hawking, Mark Zuckerberg, dan Elon Musk.

Menjadi seorang INTJ yang bergelut di sosial media dan dunia maya secara umum adalah hal yang nggak mudah. At least buat gue. Tiap hari gue bertemu dengan berbagai macam kebodohan yang dilakukan orang di internet, such as asking obvious question to being a plain idiot and left me completely speechless. Stupidity is one of my biggest pet peeves. Just stupidity in any form. I got cancer whenever I see people on the internet, especially Indonesians, who are mostly shallow and ignorant. Berita-berita hoax bisa jadi bahan berantem di Facebook, hal-hal nggak penting bisa jadi bahan omongan di Instagram, komen-komen nggak penting bisa aja dikomenin di YouTube. The struggle becomes more real because keeping my mouth shut all the time is the only choice I have. But if you see some things from me that you don't quite understand or you think I'm too mean, too blunt, too arrogant, too this, or too that. It's because of my personality trait.

Ketika gue menutup diri untuk berteman dengan orang Indonesia aja (karena dulu gue berpikir berteman dengan orang beda kultur itu exhaustion. Di mana gue, yang nggak minum dan nggak party, harus ikutan bergaul ala mereka), I've never seen myself fit in any circle. Lingkaran pertemanan terbaik yang pernah gue temui ya cuma temen-temen deket gue sejak SMA. Terbaik dalam hal bebas drama, bebas tipikal pertemanan wanita yang haha-hihi dan nongkrong cantik, dan bebas hal-hal pretentious dan superficial. Di situ gue merasa gue bisa menjadi the realest version of myself. I'm not afraid to sound mean, cold, not interested, or not care. Karena mereka tau gue memang nggak pandai mengekspresikan perasaan gue, gue nggak bisa yang bubbly peluk-pelukan dan miss you-miss you-an sama temen gue, dan nggak suka yang selalu melakukan percakapan yang nggak bisa bikin gue jadi pinter a.k.a cuma gosipin orang. Sampai lah gue di momen di mana gue harus pindah negara. Pindah negara berarti lingkungan baru, orang-orang baru, cara bersosialisasi yang baru. I did find some inspiring people, whom I like to have conversation with. Karena setiap ngobrol sama mereka gue belajar hal baru, obrolannya positif dan berfaedah, dan yang pasti membantu gue untuk tumbuh. Tapi banyak juga lingkaran atau orang-orang yang gue temukan, yang terlalu mengada-ngada. Semua hal yang dilakukan dan obrolannya mengada-ngada, cuma ketawa-ketawa, nggak ada maknanya, kosong, dan bikin bosan. Di situ lah gue merasa muak dengan manusia dan memutuskan untuk masuk lagi ke kandang. Sesekali gue keluar rumah untuk ketemuan sama orang yang kiranya worth waktu gue. Itupun gue lakukan karena otak gue butuh ngobrol dan diskusi 4 mata. Pada saat itu banyak yang menyebut gue manusia goa, karena gue jadi jarang keluar rumah dan jarang kelihatan. Because at that time people I met so far didn't impress me.

Lalu gue tiba-tiba terpikir untuk mencari lingkaran lain selain temen-temen Indo ini. Untuk menghilangkan kebosanan ini mungkin gue harus lebih terbuka dengan orang baru. This time I tried to open up to people with different cultures. I did really well tho. I went to some events and places alone dan di sana gue kenalan sama orang-orang. Dan perkiraan gue nggak salah. Beda kultur = beda mentalitas = beda latar cerita. Beda = sesuatu yang baru = bosannya hilang. Yeayy... Sekarang gue bersemangat lagi untuk bersosialisasi. Akhirnya gue pun makin sering pergi sendirian dan kenalan sama orang lain. Bahkan gue sampe ikut pertukaran pelajar segala demi buat ketemu orang baru. Makin gue encounter social situation, makin gue sadar kalau ternyata introversion ini bisa gue situasikan. Sekarang gue jadi makin bisa untuk nge-switch kapan gue harus introvert dan kapan gue harus outgoing. Gue juga jadi mengerti kalau gue nggak semata-mata malu atau susah bikin teman, tapi ternyata gue males kalau bertemannya cuma begitu doang. Buktinya ketika gue ketemu orang-orang ini, yang bisa gue ajak ngobrol panjang dan berat dari A sampai Z, gue merasakan kepuasan dan kegembiraan yang mendalam karena akhirnya gue nggak usah lagi memakai topeng pura-pura goofy, pura-pura warm, pura-pura sering ketawa, pura-pura jadi tipikal cewek rempong. Apparently I can be myself when I'm with the right people and I'm willing to socialize with them. Gue selalu dapet insight baru ketika bertukar pikiran dengan mereka, karena latar belakang kultur kami yang berbeda. Gue bisa mencoba untuk relate ke mereka karena mereka punya fokus berbeda dengan gue. Intinya adalah gue bisa banyak belajar tentang manusia.

Anyways, ketika lo melihat gue nyaman ngobrol dan bergaul dengan orang lain. Itu berarti gue sedang bersama orang-orang yang tepat :)

————————————————

Gita Savitri DeviTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang