Part 3. 'Move On!'

Start from the beginning
                                        



Tak berapa lama berselang, tak tahu entah dari mana tiba-tiba saja datanglah seorang wanita mengenakan gaun selutut, mengelus perutnya yang sedikit membentuk shape. Mata Alvian membulat bersamaan dengan feeling-nya yang mulai merasakan kalau hal ini akan berkembang menjadi drama. Perasaannya sudah tak nyaman sejak kedatangan wanita hamil itu.



Entah apa yang mereka bicarakan setelah itu. Alvian terlalu sibuk dengan dugaan-dugaannya sampai akhirnya saat ia menengok lagi, tiga orang tadi sudah tak berada di tempat semula. Keheranan, Alvian segera keluar dari persembunyiannya, celingukan mencari-cari sosok mungil si cowok tembem.



Hingga akhirnya Alvian menemukannya tengah terduduk lemas di batas tembok mink setinggi 30 cm, tembok pembatas antara tanaman dengan jalur pedestrian. Duduk dengan kepala yang hampir tenggelam diantara kedua lututnya dan kedua tangan yang menjambak rambut.



Mendadak Alvian tak butuh penjelasan apa-apa lagi. Tanpa banyak kata, cowok pendiam itu melangkah mendekati Oza, menarik tangannya hingga berdiri. Tak perlu bertanya untuk mengetahui betapa kacaunya pikiran Oza saat ini. Raut wajah sedih yang membayang jelas pada paras pucat itu bahkan terlihat lebuh menyakitkan dan menyesakkan dibanding melihatnya menangis secara langsung.



"Kepalaku sakit sekali, Mas..."



Hanya dengan satu kalimat itu saja sudah mampu menghilangkan segala gondok dan kesal yang ditahan Alvian selama beberapa minggu ke belakang. Cowok pendiam itu menarik lengan Oza lembut menjauhi taman menuju tempat dimana motornya terparkir. Oza hanya sibuk menunduk dalam-dalam, tak bergeming meski Alvian sudah beberapa kali menyuruhnya naik di boncengan belakang. Terpaksalah Alvian menuntun dan mengangkat tubuh cowok mungil itu agar duduk di belakangnya.



Sepanjang perjalanan tersebut, Alvian mati-matian menjaga agar Oza jangan sampai terjatuh, menahan kedua lengan kurus itu agar tetap melingkari pinggangnya. Alvian membantu menahannya dengan tangan kiri sebelum akhirnya tersadar kalau dia sama sekali tidak tahu alamat kosannya Oza.



"Za, kosan kamu di daerah mana Za?" dua-tiga kali tanya itu berakhir menjadi bagian dari deru angin, berlalu tanpa ada jawaban.



"Oza, jangan bilang kalo kamu tidur? Za?!"



Kepala Oza sepenuhnya terkulai pada punggung lebar Alvian, tak menjawab apapun. Alvian berdecak kesal setengah bingung. Setelah ini, bagaimana?





💕💕💕





"Kamu udah sadar? Masih pusing?"



Oza memutar bola matanya, mengamati sekelilingnya dengan mata yang berdenyut perih kala terlalu dipaksa untuk melirik ke atas atau ke bawah. Tubuhnya terasa lemas sekali dan kenapa sekarang ada Alvian di sini? Ini dimana? Sejak kapan penampakan kamar kosan sempitnya berubah menjadi bersih dan lapang begini? Ini pasti... tempat tinggal Alvian.



Alvian terus mengamari Oza yang kelihatan kebingungan, mengambil segelas air di atas nakas beserta sedotannya dan mengangsurkannya ke bibir pucat Oza. Oza menyedot air itu berterima kasih atas pengertian Alvian yang seakan paham betapa perihnya tenggorokannya yang kehausan. Oza masih melirik-lirik ke sekeliling dan menyadari kalau hari telah berganti malam. Cowok tembem itu mengerjap-ngerjapkan matanya yang terasa perih terpapar cahaya lampu kamar, menebak kalau dirinya terserang demam. Matanya memang selalu tak dapat berkompromi dengan cahaya kuat tiap kali terserang demam. Perutnya juga terasa perih.



"Aku ambil makanan dulu, kamu tunggu di sini!" pesan Alvian setelah Oza selesai minum. Oza hanya mengangguk dan meminta Alvian untuk mematikan lampu kamarnya sebelum keluar. Alvian menurut dan menyalakan lampu tidur yang remang-remang sebelum ke dapur.

UnconditionalWhere stories live. Discover now