1

35 3 0
                                    

Seoul, 1998

Praaangg

Suara barang-barang yang dibanting menjadi hal lumrah di rumah mewah ini setiap harinya. Bahkan bisa lebih dari satu kali sehari jika mereka bertatap muka dan memulai pembicaraan.

Kata-kata umpatan dan makian pun tak luput dari mulut masing-masing. Tangan mereka juga tak segan untuk ikut meramaikan drama tersebut.

Sementara di sudut lain ruangan, seorang anak kecil duduk bersila sambil memainkan bola basket di tangannya. Pintu kamar ia tutup rapat. Tak lupa untuk menguncinya.

Ia jenuh. Ia muak. Ia ingin marah. Tapi harus pada siapa ia lampiaskan? Dirinya hanya seorang anak kecil yang dianggap belum tahu apapun.

🍁

Di sebuah gedung sekolah dasar ternama suasana begitu riuh. Maklum, ini merupakan jam pulang sekolah.

Para orang tua maupun sopir pribadi sudah berdiri di depan gerbang di samping mobil masing-masing siap untuk membawa pulang anak-anak mereka.

Seorang anak kecil berjalan dengan santai menghampiri orang yang sudah bersiap untuk mengantarnya pulang.

"Paman".

"Tuan muda", sapa sang sopir dengan senyum ramahnya.

"Mana ayah? Bukankah beliau yang akan menjemputku?", tanya sang anak sambil melihat ke dalam mobil berharap ayahnya ada disana.

"Maaf, direktur mendadak ada urusan penting sehingga beliau tidak bisa menjemput Tuan muda". Ada raut bersalah pada wajah sang sopir.

"Tapi ayah sudah janji, dia akan membelikanku bola basket hari ini!"

"Dia juga bilang akan mengajakku makan di restoran baru dekat sekolah. Lihat! Hari ini aku mendapat nilai 90 di pelajaran bahasa Korea. Aku juga mendapat peringkat tertinggi di kelas piano!"

"Paman, cepat telepon ayah dan katakan semua itu padanya! Dia pasti akan senang mendengarnya. Dia sudah janji akan menuruti permintaanku kalau aku berhasil", bujuk sang anak.

Ada raut bimbang dalam gelagat sang sopir. Namun dengan cepat ia kembali membujuk anak majikannya itu untuk mau pulang bersamanya.

"Tuan muda, lebih baik kita cepat pulang sekarang. Mungkin saja direktur saat ini sudah berada di rumah. Jadi, kau bisa mengatakan semua itu secara langsung."

"Benarkah?" sang sopir tersenyum untuk meyakinkan.

"Baiklah ayo kita pulang".

🍁

"Kau harus membawanya!!" suara nyaring itu memenuhi ruang tamu rumah mewah ini.

Nafasnya naik turun dengan muka merah padam menahan amarah. Sangat kontras dengan kulit putihnya.

"Kenapa harus aku? Kau adalah ibunya!" sang pria yang merupakan suami dari wanita tadi pun tak mau mengalah.

"Dia masih 8 tahun. Masih dibawah umur. Sudah sepantasnya jika dia di asuh seorang ibu!" jawabnya tak kalah sengit.

"Kenapa? Apa kau mau hidup bebas dengan selingkuhanmu itu, hah?!"

"Kau juga selingkuh, kau juga mau melepas tanggung jawab dengan tidak mau mengasuh anak itu?!"

"Tapi dia anakmu-"

"Kau pikir karna siapa anak itu ada! Itu semua karna kau mabuk. Sampai-sampai aku harus mengandung anak dari pria brengsek sepertimu!" jawab sang istri tak kalah sengit.

"Seharusnya kau menolak, kau dalam keadaan sadar waktu itu-"

"Sudah hentikan! Aku tidak mau tahu. Pokoknya kau urus anak itu! Aku akan keluar dari rumah ini. Kirim padaku surat cerai nya segera!" wanita itupun melenggang keluar.

Namun saat sampai di pintu depan, ia tiba-tiba berhenti.

"Omma..." panggil sang anak dengan lemah dan mata berkaca-kaca. Ya, ia mendengar semua pembicaraan kedua orangtuanya. Bukan, lebih tepatnya pertengkaran.

"Mulai sekarang kau ikut dengan ayahmu. Mengerti?!"

Tanpa menunggu jawaban anaknya, sang ibu segera bergegas memasuki mobil dan pergi meninggalkan rumah serta anaknya. Anak satu-satunya yang hanya bisa memandang kepergian ibunya dalam diam dengan air mata yang turun tanpa henti.

🍁

Chapter satu kelar 😥
Dikit banget yaa 😆
Adakah yang mau mampir?

Tinggalin jejak guys 😘

MASK [hide me]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora