5. No Garing, No Jayus!

57 7 0
                                    

Suatu saat, ada seorang teman yang muncul dan menyampaikan tebakan ini: "Siapa musisi termiskin di dunia?". Dan waktu tak ada seorangpun yang bisa menebak, dia menyampaikan jawabannya: "Dave Koz". Lha, kenapa? "Soalnya dari dulu sampai sekarang masih ngekoooooz terus!".

Dan dari salah satu sudut terdengar celetukan bernada mengecam, "Huuu...! Garing, garing! Jayuuuus...!"

Selama hidup, kita akan terus bertemu dengan orang-orang seperti ini. Di setiap lingkungan pergaulan, orang-orang nan garing dan jayus akan selalu ada. Memang meresahkan, tapi tentu saja tak mungkin bagi kita untuk melenyapkan mereka dengan virus anthrax atau bom termonuklir. Satu hal pasti, mereka amat perlu ditolong—mungkin dengan dibelikan atau dipinjami buku ini!

Secara umum, belum ada penelitian ilmiah untuk menjelaskan etimologi kata "garing" dan "jayus". Tapi gampangnya saja, garing merujuk pada suatu keadaan ketika lelucon yang disampaikan gagal menggelitik saraf geli audiens, sedang jayus berarti orang yang mencoba melucu tapi tak berhasil mencapai tujuannya.

Mengapa kegagalan yang amat tragis dan memilukan itu sampai terjadi? Selalu saya tegaskan di sini, bukan karena mereka tak ada bakat untuk melucu. Pasti hanya karena kurangnya penguasaan skill dan teknik-teknik dasar untuk melucu dalam diri mereka. Dan ketika bicara skill dan teknik, yakinlah bahwa tak ada yang tak bisa dipelajari. Maka untuk itulah buku ini ada.

Kenapa Garing?

Biasanya, ini terjadi ketika kita menyampaikan materi-materi lawakan yang sudah terlalu sering beredar di pergaulan luas. Dan materi yang kerap beredar adalah dari jenis tebak-tebakan dan anekdot. Audiens tidak akan tergelitik jika sudah merasakan bahwa lelucon yang disampaikan adalah barang hapalan, seperti tebak-tebakan Dave Koz yang ngekoz itu tadi.

Lelucon lain yang besar kemungkinan menimbulkan efek kegaringan adalah lelucon yang kejam dan tak berperikemanusiaan. Pasti pernah dalam suatu kesempatan, Anda bercerita mengenai sesuatu, lalu kawan Anda menegas, "Siapa?", yang lantas Anda jawab, "Aku", lalu si teman merespon spontan, "Siapa yang nanya!?".

Lelucon ini sepintas tampak lucu, tapi hanya bagi sang penyampai, yaitu pihak teman Anda. Sedang bagi pihak "audiens", yaitu Anda, lelucon itu akan menggempur moral Anda ke level yang paling nadir. Dan satu kunci lelucon yang baik dan sehat adalah ketika lelucon itu terasa lucu baik oleh penyampai maupun oleh audiens.

Satu lagi jenis lelucon yang berpotensi tidak lucu adalah lelucon-lelucon yang berkaitan dengan hal-hal yang tabu di masyarakat, seperti seks dan profanity (bahasa kasar atau umpatan). Di tangan para pelawak profesional, hal-hal tabu bisa terdengar sangat lucu, namun saat disampaikan oleh amatiran dan orang awam seperti kita, hal demikian malah bisa merusak mood pendengar sehingga kita mungkin malah dianggap jorok, bukannya lucu.

Orang akan lebih mudah tertawa bila mendengar lelucon-lelucon yang orisinal dan spontan. Sehingga penting bagi kita untuk terus melatih skill melucu dan tak pernah berhenti mencoba menciptakan bahan-bahan lawakan baru agar tidak dianggap garing.

Kenapa Jayus?

Kejayusan bisa terjadi, bahkan pada orang yang sudah berpengalaman melucu seperti saya sekalipun, bila kita tidak memperhatikan masalah bahasa tubuh dan timing.

Ketika kita mencoba melucu dengan bahasa tubuh yang dilucu-lucukan, baik ekspresi wajah maupun gerakan tubuh, audiens sudah akan bisa menebak sejak dari sebelum lelucon kita sampaikan. Dalam kasus Dave Koz yang ngekoz tadi, gejala kelucuan sudah bisa teraba sejak sang kawan menanyakan tebak-tebakannya.

"Ini pasti mau lucu, nih," batin kita. Dan benar! Ketika punch line-nya sampai, efek kelucuannya sudah tidak terasa lagi, karena "jurus" lelucon sang kawan sudah terbaca sejak awal.

Ketimbang memakai tebak-tebakan, akan lebih terasa bila "Dave Koz yang ngekoz" kita masukkan sambil lalu ke dalam percakapan, apalagi kalau percakapan itu terjadi serius dan bersungguh-sungguh. Misal saat sedang mengobrolkan artis barat, topik kita arahkan ke soal kekayaan mereka, dan terakhir kita bicara tentang "...Semua kaya, kecuali Dave Koz".

Nah, saat lawan bicara kita menanyakan apa sebabnya, frase "Dave Koz yang ngekoz" akan terasa jauh lebih mengentak daripada jawaban tebak-tebakan itu karena tak ada yang pernah menduga bahwa kita akan melucu. Kalaupun teman mengobrol kita tidak tertawa, setidaknya dia akan mengumpat "Trondholo!" atau "Dengkulmu! Tiwas dirungokke tenanan...!" (Sialan! Padahal udah telanjur kudengerin beneran!), tapi kita aman dari tuduhan jayus.

Lelucon adalah seperti film. Kita tercekam karena belum tahu jalan ceritanya. Begitu tahu bahwa sang lakon akan mati di ending, cerita film tak akan menarik lagi. Dan film sehebat Titanic pun akan berkurang daya kejutnya setelah kita menontonnya untuk kali kedua, ketiga, dan seterusnya.

Masalah berikut yang sering menyebabkan kejayusan adalah soal timing. Soal waktu. Pernahkah Anda melucu saat upacara pemakaman di kuburan? Ndagel di tengah-tengah rapat kabinet darurat membicarakan demo mahasiswa memprotes kenaikan harga BBM? Atau ngotot tetap melawak padahal Anda tahu tengah berada di lingkungan orang-orang yang jauh lebih lucu daripada Anda?

Pelucu yang bijak adalah orang yang empan papan (memahami tempat). Tahu kapan harus diam dan tahu kapan harus melontarkan lelucon. Saat kumpul dengan teman-teman yang sama lucunya, saya lebih baik diam dan mendengarkan saja semua kelucuan mereka beredar tanpa henti.

Saya baru ikut melucu bila saatnya tepat. Paling hanya untuk menyela atau berkomentar terhadap lelucon orang lain. Kalau saya nekat melawak juga, kemungkinan yang paling logis terjadi adalah: a) lelucon saya kalah lucu dengan yang lain; dan b) bisa saja saya akan dianggap saingan sehingga akan merusak mood mereka.

Masalah timing juga berkaitan dengan soal bahasa tubuh itu tadi. Pernah lihat almarhum Basuki melawak? Adakah Anda lihat dia melucu-lucukan ekspresi dan gerakan tubuhnya? Tidak. Dia terkesan bicara serius, dan kadang bahkan dengan mimik muka merengut marah. Lawakannya jadi jauh lebih lucu justru karena seolah-olah dia tidak bermaksud melucu, melainkan bicara sungguhan dengan orang lain.

Lelucon kita juga akan terdengar lebih lucu kalau seakan-akan kita bicara sungguhan dan tak berkesan sedang berusaha melucu sama sekali. Ini juga berkaitan dengan "jurus" yang sudah terbaca sejak awal tadi.

Tiga Tingkatan Kelucuan

Setelah berhasil mencegah diri kita dari menjadi orang yang garing dan jayus, kini kita siap untuk belajar menjadi orang yang lucu. Dan sebagaimana pelajaran di sekolah yang dibagi berjenjang menurut kelas, kadar kelucuan seseorang juga tersusun atas tiga level, yaitu:

· Level Penghapal

Di tingkatan ini, orang baru sekadar menghapalkan materi-materi lucu yang ada di media atau buku, mungkin dari membaca anekdot di koran, tebak-tebakan di SMS, atau kutipan (quote) dari film-film komedi. Satu lagi senjata yang bisa dipergunakan di level ini adalah cerita pengalaman-pengalaman lucu, baik pengalaman diri sendiri maupun cerita orang lain yang pernah kita dengar.

· Level Reaksi Spontan

Orang dari tingkatan kedua melontarkan lelucon sebagai reaksi spontan atas segala sesuatu yang terjadi dan berada di sekitar mereka. Orang, barang, watak, perkataan, peristiwa—mereka bisa menemukan kelucuan di balik semua hal dan menertawakannya, bahkan termasuk dari diri mereka sendiri. Di level ini, orang juga mulai bisa menciptakan bentuk-bentuk lelucon baru yang belum pernah ada sebelumnya.

· Level Bermain

Dalam tataran yang paling tinggi, orang sanggup menyusun dan memformulasikan berbagai elemen sumber tawa, baik yang hapalan maupun yang hasil reaksi, secara sistematis untuk menggali tawa audiens tanpa putus. Inilah level para pelawak dan komedian profesional. Di sini, lelucon dan kelucuan sudah bisa dijadikan keterampilan untuk mencari nafkah, bisa lewat skenario film, pertunjukan panggung, parodi, ataupun lewat musik.

Dalam buku ini, kita hanya akanbelajar hingga tahap kedua, sedang tahap ketiga yang begitu rumit akan sayabahas dalam buku berikutnya (agar punya alasan untuk berjualan buku lainnyalagi sehingga saya bisa memaksa Anda untuk membuat saya cukup kaya raya darihasil royalti!)c

The Science of nDhagel: Panduan Edan Menjadi Orang LucuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang