Tapi hari ini sepertinya adalah hari keberuntungannya. Dengan memfokuskan seluruh perhatiannya, Oza dapat menangkap beberapa mikro ekspresi dari Alvian. Dimulai sejak cowok itu pindah ke tempat Oza pertama duduk, Oza dapat menangkap ketegangan yang sedari tadi tercetak samar di wajah Alvian sekarang perlahan-lahan mulai kendur. Alvian terlihat mulai santai dan tidak semurung seperti saat ia kehilangan spot tempat duduk favoritnya tadi.
Perlahan alis Oza berkerut. Alvian ternyata tidak semengerikan seperti yang dibayangkan oleh Oza sebelumnya. Cowok itu hanya sedikit terlalu minim ekspresi, serta terlalu over pendiam. Perlahan, keingintahuan Oza mulai tergelitik. Cowok berpipi tembem itu mulai tertarik (lagi) untuk tahu lebih banyak hal tentang Alvian. Sekalian mencoba menantang dirinya sendiri, sampai sejauh mana dia akan tahan dengan sikap dingin Alvian. Oza belum pernah menghadapi cowok belok dengan tipe yang seperti Alvian ini sebelumnya. Dan hal ini... sepertinya menarik?
“Pesanannya sudah datang~. Loh, kalian change tempat duduk ya? Nah, ini pesanan Kak Alvian ya,” Dion dengan nampannya membuyarkan lamunan Oza. Waiter itu mengembangkan senyuman terbaiknya pada kedua pelanggan di kafe tempatnya bekerja tersebut. Menaruh segelas besar milkshake di depan Alvian dan segelas es jeruk pesanan Oza serta sepotong kue cokelat yang sukses membuat Oza mengerutkan dahinya keheranan. Dia tidak pesan kue.
“Special for you, from Ka Jevan!” bisik Dion seakan mengerti dengan arti kernyitan yang menghiasi kening Oza. Barulah cowok berpipi tembem itu maklum sambil bibirnya membentuk huruf O. Dion pamit ke belakang, melanjutkan pekerjaannya mengantar pesanan. Sementara Alvian, entah sejak kapan mulai memusatkan fokusnya pada Oza, terutama ketika cowok tembem itu membulatkan mulutnya tadi.
Tembem.
Lagi-lagi kata itu yang kembali melintas di benak Alvian.
Serigala penyendiri itu bahkan tak sadar kalau dia sudah memperhatikan Oza selama tiga menit penuh. Rekor yang luar biasa sejak Alvian kenal dengan cowok berpipi tembem tersebut. Oza yang merasa diperhatikan, menghentikan suapannya dan balik menatap Alvian.
“Kamu mau?”
Alvian lekas menggeleng dan buru-buru menyeruput milkshake-nya gugup. Oza, sayangnya tak menangkap kegugupan tersebut. Cowok tembem itu malah fokus dengan minuman yang tengah diseruput oleh Alvian. Sebuah senyum tipis tercetak di bibirnya. Milkshake + serigala penyendiri? Kenapa makin kesini, di mata Oza Alvian menjadi semakin kehilangan kadar keseramannya ya?
“Dulu juga milkshake, ya.” imbuh Oza dengan nada noatalga, kala teringat minuman yang diminum Alvian di awal perkenalan absurd mereka dulu.
Alvian mengerutkan keningnya tak paham. Oza di depannya kembali tersenyum sambil menatapnya dengan sorot hangat.
“Ya elah Mas. Jawab kek, dari tadi aku kayak lagi ngomong sama tembok, tau nggak?” Oza mulai kesal lagi dengan reaksi Alvian yang so mute itu. Alvian masih terdiam selama beberapa waktu sebelum akhirnya membuka mulutnya untuk menyahuti perkataan Oza.
“Saya bukan Mas-mas,”
Hening.
Oza tak menyangka, dari sekian banyak kalimat yang mungkin akan dilontarkan Alvian, haruskah kalimat barusan yang keluar dari mulutnya?
Alvian masih asyik menyeruput milkshake-nya pelan-pelan, sesekali melirik-lirik Oza yang beku seakan baru terkena kutukan avada-kedavra. Tapi Oza tak musnah, hanya membeku seperti patung. Ngomong-ngomong, Oza lupa nama kutukan yang membuat orang menjadi batu, dia harus tanya lagi ke adik sepupunya yang penggila Harry Potter itu. Untuk sekarang, Oza cuma ingin melakukan dissapearate, mood-nya untuk menikmati malam Minggu sudah lenyap sejak tadi.
“Baiklah,” Oza bangkit berdiri tanpa menandaskan isi piring kecilnya yang berisi kue cokelat pemberian Jevan. Apalagi es jeruknya, dibiarkan tak tersentuh sama sekali. Oza sudah kehilangan napsu makan. Cowok tembem itu lantas berlalu tanpa mengatakan sepatah kata pamit pun pada Alvian.
Tingkahnya yang aneh itu tertangkap oleh Fernandi yang sedang berada di balik meja kasir. Oza mengeluarkan dompetnya hendak membayar, namun kalimat Fernandi sukses menghentikan gerakan tangannya yang hendak menarik selembar pecahan lima puluh ribuan.
“Simpen duit kamu, anggep aja makanan dan minuman itu hadiah karena kamu udah mau ngalah sama Alvian.”
Oza menatap Fernandi tajam, lantas kembali meneruskan gerakannya menarik lembaran uang.
“Kalau gitu, anggaplah ini bayaran karena kamu sudah berhasil membantu menghancurkan mood saya!” bukan lima puluh ribu, kali ini lembaran merah seratus ribuanlah yang dihempaskan Oza ke meja kasir. Fernandi meneguk ludah pahit, Oza sekarang dalam mode yang tak bisa didekati. Entah apa yang telah terjadi diantara Alvian dan Oza tadi, yang pasti sekarang adalah lebih baik untuk tidak mengganggu Oza.
“Oza, kembaliannya!” seru Fernandi pada Oza yang sudah lebih dahulu melangkah menuju pintu keluar.
“Pakai saja kembaliannya untuk bayar milkshake Alvian!” tukas Oza kesal.
“Tapi masih lebih, Oza!”
Teriakan Fernandi tak digubris sama sekali oleh Oza. Cowok tembem itu sudah menghilang dari hadapan Fernandi, meninggalkan jejak aura hitam di sekelilingnya. Meninggalkan Alvian yang menatap punggung kecil itu menghilang di balik tikungan denga sorot tak mengerti. Serta Fernandi yang keluar keringat dingin.
Pasalnya, Oza dalam mode sensi itu paling sulit untuk dihadapi!
💕💕💕
To be continued.
Vote and comment, gengs. Happy weekend!
YOU ARE READING
Unconditional
General FictionBased on true story. Special thanks to Bangata for his inspirative story. Also big thanks to @KucingMonster97 for the cover. Cerita ini mengandung unsur BxB alias homo. Silakan balik kanan bila kamu adalah homophobic. "Jauhi penyakitnya, bukan oran...
Part 1. Milkshake Trouble
Start from the beginning
