01○

476 178 316
                                    

Devan melihat jam yang melingkar di tangannya dengan gelisah. Ia lalu menghadap kearah perempuan yang sedang memakai sepatunya dengan terburu-buru.

"Deana, buruan," ucap laki-laki tersebut.

Perempuan yang dipanggil Deana tadi hanya mengangguk lalu bangkit setelah selesai. Ia baru saja ingin menghampiri laki-laki tadi tapi ia teringat sesuatu.

"Tas gue," kata Deana yang membuat laki-laki tadi menggelengkan kepalanya malas.

Deana mengambil tasnya lalu berpamitan dengan orang tuanya yang sedang duduk dimeja makan. "Ma, Pa. Aku berangkat."

"Iya. Hati-hati," kata ayah Deana. Sedangkan ibunya hanya mengangguk.

Deana hanya tersenyum miris melihat perlakuan dingin ibunya. Ia sudah terbiasa akan hal itu. Semenjak, kakaknya meninggal dunia.

"DEVANNNNNNN!!"

Yang dipanggil hanya memutar bola matanya malas lalu menoleh menghadap Deana yang memanggilnya tadi.

"Ada apa, Deana?" tanya Devan sambil memberikan senyum yang sangat di paksakan.

Deana menatap sahabatnya yang ia kenal empat tahun yang lalu. "Tungguin gue, bego."

"Ini kan gue tungguin. Buruan ih, kita udah telat nih. Kebiasaan lo sih. Giliran udah libur panjang aja pas masuk sekolah di bangunin susah banget," omel Devan.

Deana hanya memberikan senyuman lebarnya. "Sorry, bos."

"Yaudah. Buruan jalannya," ketus Devan. Deana hanya mengangguk dan berjalan di samping Devan.

Deana bersenandung kecil. Sedangkan Devan hanya diam dan memperhatikan jalan. Mereka berjalan dalam keheningan di pagi hari.

Devan dan Deana selalu pergi dan pulang sekolah bersama
dengan berjalan kaki karena sekolah mereka yang berada satu kompleks dengan rumah mereka.

Sedangkan Devan, sudah menjadi kebiasaannya selalu menjemput Deana di pagi hari semenjak satu tahun yang lalu. Saat mereka baru memasuki kelas sepuluh.

Karena saat itu Devan pindah rumah dan ternyata hanya berbeda beberapa blok dari rumah Deana.

"Dev," panggil Deana.

Devan melihat Deana dengan pandangan bertanya. "Apa?"

"Gue sampai sekarang masih bertanya-tanya. Kenapa lo masuk IPS sedangkan orang tua lo dokter dan kakak lo lagi kuliah di kedokteran juga," tanya Deana kepada Devan. Ia tidak mengerti sampai sekarang. Bukannya Devan tidak mampu mempelajari pelajaran tersebut.

Sahabatnya yang satu itu sangat pintar. Bahkan lebih pintar dari dirinya yang masuk jurusan IPA.

"Karena gue ga mau sekelas sama lo," jawab Devan santai. Deana berdecak kesal. Selalu itu jawaban yang ia terima ketika dirinya bertanya tentang hal tersebut.

"Kalau gitu kenapa dulu pas di rumah sakit itu lo nyapa gue terus dengan keren-kerennya bilang mau nemenin gue. Hah," ucap Deana dengan nada kesal.

Devan yang mendengar perkataan Deana langsung terdiam dan mengingat kejadian empat tahun yang lalu.

Saat itu, ia sedang berjalan-jalan di rumah sakit orang tuanya. Lalu ia mendengar suara nangis seorang gadis yang menurutnya sangat menyesakkan tersebut.

Devan yang saat itu baru berumur dua belas tahun pun penasaran dan melihat seorang gadis yang terlihat sepantarannya menangis sambil bergumam.

Ia yang tidak tega pun menghampiri gadis tersebut dan mengatakan hal yang sampai sekarang jika ia ingat lagi sangat memalukan.

Devan & DeanaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ