"Mas Dodi, itu yang menempel di komputer apa?" tanyaku.

"Oh yang ini, Dit?" sambil menunjuk benda tersebut.

"Iya, mas."

"Ini namanya modem, Dit, Modulator Demodulator. Bagaimana menjelaskannya ya? Jadi begini, Dit, bayangkan jika komputer ini terhubung dengan seluruh komputer di dunia melalui jaringan internet. Ibarat telepon yang terhubung ke jaringan telepon, sehingga telepon tersebut dapat menghubungi telepon yang lain. Begitu juga dengan komputer yang terhubung ke jaringan internet. Kamu bisa berkomunikasi dengan komputer lain yang ada di belahan dunia manapun dengan perangkat ini." jawab mas Dodi menjelaskan semampunya.

Karena tidak mengerti apa yang mas Dodi katakan, aku hanya terdiam dan tersenyum. Dalam hati aku berkata: "Ngomong opo to mas?"

Karena hening terlalu lama, mungkin mas Dodi mengerti jika aku tidak paham. Kemudian dia bertanya, "Kamu sebentar lagi masuk SMP kan, Dit?"

"Iya, mas."

"Kamu pasti akan diajari tentang komputer, Dit."

***

Surat pernyataan kelulusan sudah dibagikan. Tahun ini semua siswa dinyatakan lulus. Ini kabar baik untuk semua siswa dan sekolah, prestasi 'sekolah lulus 100%' pasti akan menarik banyak calon siswa baru. Aku melihat daftar nilai pada surat yang dipegang oleh ibuku, rata-rata nilainya cukup memuaskan. Paling rendah adalah mata pelajaran matematika, dan paling tinggi adalah mata pelajaran bahasa Indonesia.

Aku mencari Anam di sekolah, dari pagi aku belum melihatnya. Aku bertanya ke beberapa teman, jawabannya Anam hari ini memang tidak berangkat. Kemudian, aku melihat Budiono yang sering di panggil 'Budi Bengal'. Dia sedang melompat-lompat senang karena lulus setelah 4 kali tidak naik kelas, aku juga senang melihatnya. Seharusnya sekarang dia sudah lulus SMP, tapi aku bangga karena dia tetap berjuang walau sering jadi bahan ejekan. Selamat Bud!

Sepulang sekolah aku diminta ibu untuk membeli bumbu dapur di warung, hari ini ibu akan membuat selametan untuk kelulusanku. Ketika pulang dari warung, aku melihat Anam di depan rumah sedang duduk sendirian.

"Hei, Anam!" aku menyapa Anam.

"Eh, Dita, darimana?"

"Dari warung, Nam, tadi kenapa tidak berangkat ke sekolah? Kamu mau melanjutkan sekolah dimana? Ikut aku saja di SMP Negeri 1."

"Tidak kenapa-kenapa, Dit, aku tidak bisa sekolah disini." Anam menjawab sambil melempar pandang.

"Kenapa, Nam?"

"Kamu ingat dulu kita pernah akan berpetualang bersama, Dit?" tanya Anam.

"Iya, Nam, tapi kamu pergi ke Brebes dengan bapak kamu kan?"

"Ternyata masih ingat kamu, Dit, disana aku bertemu eyang. Kemudian eyang menyuruhku untuk sekolah disana, di pondok pesantren, di Brebes. Aku takut, Dit, disana aku tidak punya teman."

Mendengar jawaban tersebut, aku hanya tersenyum. Seorang pendiam seperti Anam pasti akan kesulitan mencari teman baru.

"Tenang saja, Nam. Kata ibuku, yang penting kita tersenyum dan menyapa. Maka kita akan punya banyak teman." aku coba menenangkan Anam semampuku.

"Iya, Dit, terimakasih."

***

Sudah tiga hari aku tidak bermain ke tempat pak Harun, aku harus mengurus dokumen untuk mendaftar sekolah. Ada beberapa dokumen yang harus dicetak, difotokopi, dan dilegalisir. Karena dokumen sudah lengkap, kini saatnya aku bermain. Aku segera bergegas berangkat ke tempat pak Harun. Sesampainya disana, aku menyadari ada yang janggal. Tidak ada sendal-sendal berbaris, juga tidak ada sepeda yang terparkir. Padahal tempat itu buka, sepeda motor mas Dodi juga ada didepan. Aku melihat mas Dodi sedang sibuk membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas meja.

"Mas, kenapa sepi ya?"

"Eh, Dita, dari kemarin tidak terlihat kamu, Dit, darimana?" tanya mas Dodi yang tetap sibuk membereskan kertas.

"Mengurus dokumen untuk mendaftar sekolah, mas."

"Oh, begitu ya." jawab mas Dodi singkat.

Karena pertanyaanku belum dijawab, aku mengulanginya, "Mas, kenapa sepi ya?"

Mas Dodi segera berhenti, meletakan kertas di atas meja dan menghela nafas sebentar. Dia kemudian duduk dan berkata, "Dit, kamu belum tahu ya? Dua hari yang lalu pak Harun meninggal karena sakit. Tempat ini mau ditutup."

Mendengar hal tersebut aku sedikit kaget, aku hanya terdiam dan menunduk.

"Setelah ini, mas Dodi mau kerja dimana?" tanyaku.

"Belum tahu, Dit. Sebenarnya aku ingin ke Jogja, bekerja sambil meneruskan kuliah."

"Oh begitu, saya bantu membereskan ya, mas?"

"Iya terimakasih, Dit, tolong ambilkan kardus yang di dekat pintu itu ya."

***

Jujur saja, aku sangat merasa kehilangan. Aku pasti akan merindukan mas Dodi dan juga Anam.

Aku sadar waktu terus berjalan, dan semuanya berubah dengan cepat.

Sampai jumpa dilain waktu mas Dodi, dan juga Anam.

Titik Masalahnya Adalah Titikजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें