23. Just Walking in the Rayn

Start from the beginning
                                    

"Raiden suka kamu. Mungkin dia baru berhenti rese kalau kamu mau jadian sama dia."

Megan mendengkus. "Aku enggak suka."

"Ya, aku tahu. Makanya, sudah benar Rayn yang hadapi dia." Ardi tertegun sendiri. Separuh hati ia mengakui itu dan mengerti Rayn tidak mau dianggap pengecut yang bisanya main keroyokan. Tapi separuh lagi memprotes. Harusnya mereka berdua yang hadapi Raiden. Mana ada malaikat pelindung ketinggalan kereta begini.

"Sebal banget ya enggak bisa ngapa-ngapain kecuali khawatir," kata Megan. Suaranya lembut di antara deru hujan. Nadanya hangat di tengah embusan angin dingin.

Ardi menoleh, berserobok pandang dengan gadis itu. Tatapannya penuh pengertian. Lesung pipinya ... begitu dekat. Ardi buru-buru menarik napas, karena tiba-tiba merasa sesak. "Sudah kubilang kamu enggak usah khawatir soal Rayn," kata Ardi. Dan sebelum ia sadar, mulutnya sudah menyambung tak terkendali. "Kamu khawatirkan aku saja."

Alis Megan terangkat.

Ardi pun nekat. Sudah kepalang. "Mana yang lebih baik: khawatir mikirin yang enggak kelihatan, yang enggak tahu kamu khawatir; atau khawatir mikirin yang dekat, yang bisa langsung janji enggak bakal bikin kamu khawatir kayak gini?"

Ia memandang Megan lekat. Takut kata-katanya terlalu berlepotan untuk dimengerti. Tapi mata cerdas di depannya berkelip, ada pemahaman siapa yang dimaksudnya.

"Aku khawatir kalau pilihanku malah jadi masalah di antara keduanya."

Ardi tercengang. Jawaban diplomatis dan hati-hati. Ada dua kemungkinan. Megan tidak mau memilih sama sekali, atau sudah memilih tapi belum mau bilang. Dua-duanya membuat perasaan Ardi tidak enak. Karena ia membayangkan jawaban berbeda dari Megan kalau yang bertanya Rayn.

Ia membuang pandangan ke tempat parkir yang kini kelabu oleh kabut. Didengarnya Megan mendesah tertahan. Aah, ia telah membuat situasi di antara mereka tidak nyaman. Buru-buru ia mengalihkan persoalan.

"Istirahat sudah habis. Kita tembus hujan atau tunggu sampai reda? Ada pakaian olahraga untuk ganti di loker. Kamu?"

Megan memandang buku sketsanya. Pasti akan rusak, kalaupun dimasukkan ke dalam vest. "Pakaian olahraga kubawa pulang kemarin."

"Tunggu reda saja kalau gitu. Tapi kamu bakal capek kalau berdiri terus. Sebentar." Ardi menarik satu bangku lebih ke tengah. Menyingkirkan air dengan tangannya. Ia duduki dulu untuk menyerap sisa lembapnya. Menghadap Megan yang geleng-geleng melihatnya.

"Ardi, andai ada peri baik hati yang membawakan payung untuk kita sekarang, kamu mau kasih dia hadiah apa?"

"Kalau perinya cowok, aku angkat jadi saudara. Kalau cewek aku jadikan permaisuri." Ardi menjawab enteng. Megan bercanda untuk mengurangi kekikukan, pikirnya.

Tawa Megan pecah. Seharian ini baru terdengar lagi derainya. Genta angin terbuat dari kerang, kata Rayn. Nyaman di telinga.

"Aku catat ya janjimu. Perinya cewek, Di. Tuh!"

Ardi memutar kepala dan terbelalak. Rok biru vest toska dari arah SMP. Rambut pendek kriwil kemerahan. Bianca. Berpayung pink melawan gempuran hujan dan angin dengan membawa dua payung lagi.

"K-kupikir kamu main-main." Ardi tergagap.

Megan cekikikan. Melambaikan tangan pada Bianca dengan gembira. "Bless your heart, Bee. Kamu jadi basah semua gitu."

Bianca sampai di depan mereka. "A-aku l-lihat kalian dari tadi. Terjebak di sini. Hujannya malah tambah deras. Aku pinjam ini dari teman-teman." Ia menyerahkan payung pada Ardi dan Megan. Tersipu. Lesung pipi tunggalnya mengintip.

PELIK [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now