#2

11.1K 1.1K 54
                                    


Entah berapa lama gadis manis itu baru tersadar. Matanya mengerjap lamat-lamat saat mendengar dering ponsel yang sangat dikenal. Dia meringis. Kepalanya dan lehernya terasa berat. Namun, satu persatu ingatan mulai kembali, termasuk sosok pria bertopeng kelinci yang membuatnya jatuh terguling dari tangga. Dering ponsel kembali terdengar. Kali ini Areum sudah sempurna membuka mata. Dia mendongak menatap langit-langit ruangan. Ini masih rumahnya; ruang tengah lebih tepatnya.

"Ji Hansol ... haruskah aku mengangkatnya?"

Gadis itu tersentak kaget, segera menatap ke depan dan menemukan siapa yang bicara; pria bertopeng kelinci. Di tangan pria itu, ada ponsel birunya yang terus berdering karena panggilan dari Hansol, kakak tingkatnya di kampus. Ah ... Areum baru ingat kalau malam ini Hansol mengajaknya jalan-jalan. Mengalihkan pandangan ke kiri, Areum justru memandang hal yang tak sedap. Paman dan Bibinya sudah bersimbah darah di lantai yang memerah. Tampaknya berasal dari luka yang lebar—entah di bagian mana.

Ada rasa mual saat memandang cairan pekat berbau anyir tersebut. Areum hampir muntah karena kepalanya yang mendadak pusing. Pandangannya menguning, terasa berat untuk dipakai sebagaimana mestinya.

"Kau tahu apa yang dikatakan Paman dan Bibimu saat tahu aku menyanderamu dan menyuruh mereka menyerahkan diri ke polisi?" Si Pria bertopeng berjalan lambat mengitari kursi tempat Areum duduk dengan pucat yang terlihat. "Mereka bilang, aku boleh mengambilmu, membunuhmu, atau melakukan apa pun terhadapmu. Asal mereka tidak diampuni. Ckck, malang sekali nasibmu, ya? Tidak diperhatikan keluarga sendiri." Tangan pria itu menelusuri leher Areum, menimbulkan remang yang menakutkan. Bagaimana jika tangan itu tiba-tiba mencekiknya?

Ada rasa muak yang timbul. Serendah itukah dia selama ini di mata Paman dan Bibinya? Padahal dua orang itu bisa sesukses sekarang juga karena harta orangtuanya. Sialan!

"Kau pasti ingin berterima kasih karena aku sudah menghilangkan mereka di hidupmu, 'kan?" Si pria berbisik, tangannya menyentuh lengan si gadis, mengusapnya secara menurun dengan pelan.

Areum bungkam.

"Ah ... padahal kau sangat manis. Tapi sayang, aku harus membunuhmu juga."

Memucat wajah cantik gadis bermarga Min tersebut. Pegangannya di lengan kursi mengerat. Bagaimana pun juga, dia takut dibunuh.

"Jadi, kau mau dibunuh dengan cara bagaimana?"

Suara langkah berbalik tak disia-siakan oleh Areum. Ada keuntungan juga dia hanya didudukkan di kursi (mungkin si pembunuh berpikir gadis manis itu hanya akan diam ketakutan), jadi dia bisa dengan cepat berdiri dan mendorong si pria bertopeng hingga tersungkur menabrak meja hias.

Areum terengah. Ponsel yang terpelanting ke lantai disambar cepat. Tatapan marah yang menggetarkan lutut coba diabaikan. Dia berbalik, berlari menuju pintu luar yang semoga saja tidak dikunci. Derap langkah yang mengejar membuat semuanya kacau, paniknya bertambah. Sial! Pintu depan dikunci!

"Mau ke mana lagi, huh?" Dari balik topeng kelincinya, si pria berjaket lebar itu menatap penuh kemarahan. Karena dorongan Areum tadi, lengannya tergores tepian meja.

"Ke mana saja asal bukan bersamamu!"

Si pria berdecak. Dia maju, tapi lemparan vas bunga dari Areum menghambat langkahnya. Lagi, buruannya lepas karena kelengahan yang sedikit.

Sedang yang jadi obyek buruan berlari cepat menuju ruang belakangan. Sesekali, dia melempar apa saja ke lantai untuk menjadi pencegah langkah si pengejar. Dadanya sakit karena tak terbiasa dibawa berlari-lari, apalagi dalam kondisi seperti sekarang. Tapi dia harus kuat, bagaimana pun caranya. Rencananya, setelah berhasil keluar dari pintu belakang, dia akan berlari memutar ke gerbang depan dan menuju rumah terdekat untuk meminta bantuan.

HIMWhere stories live. Discover now