"Kau tidak boleh pergi, kau harus menemaniku disini." ia berkata manja. Seperti anak kecil yang minta dibelikan permen lolipop.

Oh, Jesus Christ. Aku menghela napas pendek, "Baiklah, karna aku pengawal pribadimu, maka aku tidak akan menolak."

Kendall menyunggingkan senyum bahagia yang membuat giginya sedikit terlihat, seperti kebahagiaan murni. Aku belum pernah melihatnya begitu, maksudku ya aku pernah hanya saja tidak sebahagia ini, dan tatapannya yang menatap kedua bola mataku, aku tidak pernah bertatapan seperti ini dengannya. Astaga, apa sih yang kau deskripsikan, brengsek? Ingat, aku pengawal, dia atasan, beda kasta.

"Thankyou, Harry." Ia menarikku duduk di kasurnya yang empuk dibalut seprai warna navy. "Aku ingin kau bercerita lagi, atau kita bertukar cerita."

Aku membelalak, bingung.

Ia menaruh kepalanya di atas pahaku, berbaring. "Setelah kupikir rasanya tidak baik juga kalau aku terus-terusan galak padamu, kita harus berteman, Harry. Karena tidak mungkin aku seumur hidup bersikap seperti itu, so, we're friends?"

Reaksi Kendall membuatku kaget, ia menampakkan senyum selebar-lebarnya. Tak henti-hentinya bibir itu membentuk bulan sabit. "Kau tidak galak, hanya menyebalkan. Dan bukankah sudah kubilang bahwa kau harus ingat, Ken, aku akan selalu ada kapanpun kau membutuhkanku. Kalau kau mau menganggapku teman, tidak masalah, selama kau bersedia."

"Ouch, romantis sekali, my bodyguard." Ia menempelkan tanganku di pipi kanannya. Dan kemudian jantungku berdegup kencang, fuck! Okay, aku merasa bersalah sebagai pengawal.

Aku melirik ponsel Kendall yang ia taruh di sebuah meja rias, setiap satu detik benda pipih itu menyala sepertinya banyak sekali yang menghubungi Kendall hanya saja ia telantarkan mereka semua. Apa salah satunya tertera nama Sean? Kalau iya, mengapa tak kunjung ia balas pesan dari lelaki keparat itu. "Ponselmu menyala dari tadi, banyak yang mengirimu pesan masuk. Kalau aku tidak salah lihat." terlontar begitu saja dari mulutku, padahal aku tidak ada rencana untuk mengucapkan kepada Kendall perihal banyaknya pesan masuk di ponsel miliknya.

Wajahnya menampakkan ekspresi tidak suka, tidak ada jawaban dari Kendall. Ia berdecak, lalu duduk di ranjang tempat ia tidur. "Aku tidak peduli kalaupun sejuta orang mengirimiku pesan, aku lelah ingin tidur. Maka dari itu aku ingin kau bercerita, karena aku selalu tertarik dengan cerita-ceritamu, siapa tahu aku bisa tidur dengan lelap." ujarnya sembari menutup mulutnya yang pura-pura menguap dengan jari-jari tangannya.

"Bagaimana kalau Sean yang mencoba menghubungimu? Tidak mau juga?" aku menaikkan sebelah alis sembari melirik Kendall dan memberi senyum miring.

Ia melirikku tajam, "Oh, iya, aku lupa. Yasudah besok lagi saja, kan aku bilang aku sudah ngantuk."

Kendall kemudian membaringkan tubuhnya di atas ranjang, kasihan dia lelah seharian karena acara amal itu. Aku menarik selimut untuk menutupi kaki hingga perutnya, aku hanya berniat membantunya saja, tidak lebih. "Baiklah, kau ingin aku bercerita tentang apa?" senyum tulus terukir begitu saja di bibirku.

"Dirimu."

"Well, aku bertemu dengan seorang anak Presiden yang lucu dan menyebalkan, lalu akhirnya ia melunak kepadaku—"

"Aku tidur."

Kendall berbalik memunggungiku, ia terlihat tidak senang mendengar ceritaku tentangnya. Aku berharap dia senang dengan cerita ini, it's a funny story, tapi dia... ah, sudahlah. "Have a nice dream, Ken." Aku tersenyum, entah sampai kapan aku akan berada di dekatnya sebagai pengawal, namun kurasa aku mulai menikmatinya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 25, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The BodyguardWhere stories live. Discover now