Chapter 4

1.7K 191 40
                                    



Aku mendongak ketika mendengar suara hentakan dari sebuah sepatu. Suaranya semakin mendekat, dan sepersekian detik kemudian aku melihat Evangeline dengan ekspresi wajah yang sulit dijelaskan, dia menghampiriku. Rupanya suara hentakan tadi berasal dari flat shoes nya, dia berjalan sangat kencang dan tidak karuan, kebiasaan anehnya begitu.

Aku menghela napas sebentar sebelum memulai untuk melontarkan pertanyaan padanya. "Kau ini kenapa, Evangeline?" Aku menutup majalah yang baru saja kubaca, dan menaruhnya di atas meja. Lalu, mendongak padanya.

Ia mencoba mengatur napasnya yang tidak karuan, menunduk sebentar untuk mengatur napasnya lalu kembali mendongak padaku. "Nona, tadi aku melihat ada temanmu yang laki-laki-aduh siapa ya namanya, aku lupa-ada di luar sedang ditahan dengan para pengawal penjaga rumah, sepertinya sih dia ingin menemuimu."

Kugigit bibirku mencoba mencerna pemberitahuan dari Evangeline, si pelayan rumah yang selalu bersikap blak blakan itu. Siapa yang ia maksud teman laki-laki? Aku bahkan tidak mempunyai banyak teman laki-laki, karena kebanyakan dari mereka menyebalkan dan mata keranjang.

"Apa yang kau maksud adalah... Sean?" dengan ragu-ragu aku menanyakan ini.

Ia mencoba berpikir keras, dengan memutar bola matanya ke arah lampu. Dia aneh. "Hmmm, ya, kurasa."

Oh, ya Tuhan. Otaknya konslet atau bagaimana, sih? Sean itu kan kekasihku, bukan temanku. Harus kutegaskan berapa kali padanya hingga dia mengerti. Dasar pelayan idiot.

Aku memutar bola mataku, kemudian menatapnya sinis. "Dia kekasihku, bukan temanku." Kutekankan kalimat 'teman' dalam pengucapan.

Aku berjalan tanpa menunggu ocehan si pelayan idiot di hadapanku ini, berjalan dengan langkah terburu-buru melewati lorong. Otakku nyaris meledak mendengar bahwa Sean datang ke rumahku, bukankah sudah kuperingatkan padanya untuk jangan menemuiku. Kalau begini caranya, jadi repot urusannya.

Pemandangan yang kulihat di luar nyaris kelihatan buruk, sebegitu susah diatur kah Sean sehingga lima pengawal sekaligus mengekangnya agar tidak bisa masuk ke rumah. Dan mengapa juga dia tidak pergi saja dari rumahku.

Aku diam di tempat. Tidak bergerak sedikit pun, karena sangat sulit mengetahui fakta bahwa Sean berani datang kemari setelah apa yang pernah dilakukan ayahku tidak lama ini.

"Hei! Biarkan aku berbicara padanya terlebih dahulu!" suaraku nyaris parau, tapi para pengawal itu tetap bisa mendengarku dari sini, tepat di depan pintu masuk rumah. Dan Sean menatapku melewati bahu salah satu pengawal berambut hitam pekat, kalau tidak salah namanya adalah Roy.

"Tidak, Nona, tidak. Laki-laki ini jangan kau beri kesempatan untuk berbicara, aku bisa mengusirnya jika kau mau, Nona. Dia orang yang tidak penurut." Roy menatap Sean garang, wajahnya seperti ingin meludahi Sean.

Cukup sudah aku dibuat pusing olehnya, bodoh. "Ikuti perintahku!" bentakku.

Dengan ekspresi wajah yang kesal, mereka akhirnya melepas Sean. Tidak ada yang mengekangnya lagi sekarang. Ia berjalan pelan, menatap lurus padaku. Para pengawal itu masih menatap Sean dengan garang, dan salah satu dari mereka ada yang menggumam tidak jelas.

Hingga ia sampai tepat dihadapanku, jaraknya hanya satu meter saja dariku.

"Ken, aku-"

"Untuk apa kau kesini? Bahkan tidak ada yang menyuruhmu agar datang kesini."

"Memang tidak ada. Aku datang kesini untuk meminta maaf padamu, dan please maafkan atas semua kesalahanku ini. Maafkan aku kalau aku tidak ada disaat kau membutuhkanku, betapa bodohnya diriku."

"Aku muak melihatmu." hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku, yang bisa menggambarkan perasaanku padanya sekarang.

Tangannya mulai menyentuh puncak kepalaku, menyentuh rambutku dengan lembutnya dia mengelus-elus rambutku. Sorot matanya yang begitu memohon, sehingga membuatku mudah terbuai olehnya.

The BodyguardWhere stories live. Discover now