Bangkit

1.8K 113 4
                                    

BRAKK

Suara ribut yang berasal dari perpustakaan berhasil membuat Andrean tersentak. Sedari tadi ia duduk termangu di koridor dekat dengan kelasnya untuk menenangkan pikiran yang terus berkecamuk membuatnya lelah. Apalagi setelah kejadian beberapa menit lalu, disaat ia memarahi Hailee. Bukannya ia membenci adik kelasnya itu, tapi ada sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak jika ia melihat Hailee melakukan sesuatu yang bisa menimbulkan bahaya. Belum lagi ia semakin merasa sakit saat Azura memarahinya tadi.

Ya. Setelah Hailee dan Dylan pergi meninggalkan mereka, Azura langsung memarahi Andrean. Azura bilang kalau Andrean tidak perlu memarahi Hailee sampai membuat sahabatnya ketakutan seperti itu—walaupun Andrean sudah menjelaskan kalau dia melakukan itu karena khawatir, sampai-sampai ia tidak bisa mengontrol emosinya dan berujung dengan memarahi Hailee—tetap saja Azura marah padanya. Andrean berdecak. Ia kesal, namun juga perduli. Ia marah karena ia khawatir. Apa itu salah?

Andrean berdiri dengan tatapan mata waspada, untuk sejenak ia melupakan masalah tadi dan beralih untuk melihat apa yang sedang terjadi. Seperti ada sesuatu yang tidak beres, ia berjalan dengan langkah lebar dan tongkat yang tadinya ia selipkan disaku celana seragamnya, kini sudah tergenggam erat.

Andrean terus berjalan dengan langkah tergesa-gesa tetapi tetap waspada. Hingga akhirnya ia sampai di belokan terakhir yang berada didekat perpustakaan. Ia bersembunyi dibalik pilar saat sebuah ledakan membuat dinding retak dan menciptakan debu, serta partikel lain berukuran kecil bertebaran, membuat jarak pandang mata menipis. Andrean sampai harus memicingkan matanya agar bisa melihat apa yang sekarang sedang ia hadapi.

Tak jauh didepannya, seorang pria dewasa tengah melawan dua remaja laki-laki dan perempuan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah teman Andrean sendiri. Hailee dan Dylan!

BLAM

Satu kilatan cahaya berhasil melesat mengenai tubuh Hailee dan membuat tubuhnya limbung. Hailee jatuh terduduk dengan darah yang mengalir dari lubang hidungnya. Sementara tangannya mencengkeram perut yang terkena serangan Rudolf.

"Auhh..." rintih kesakitan yang keluar dari mulut Hailee berhasil membuat Dylan mendesis tajam.

Sorot mata Andrean tiba-tiba berubah tajam, rahangnya mengeras dengan tangan yang mengepal. Tongkat sihirnya bahkan sampai bergetar karena cengkraman dari tangan Andrean yang begitu emosional.

Tidak ada yang boleh menyakitinya!

"Kau!" desis Dylan berubah tajam. "Jangan harap kau bisa pergi dengan selamat!" teriaknya penuh dengan intimidasi. Hingga hal itu berhasil membuat Andrean tersentak.

Andrean berlari menghampiri Hailee yang tengah berusaha berdiri. Tapi Hailee sadar kalau dia sudah terluka cukup parah. Ia terlalu memaksakan diri, padahal Dylan sudah melarangnya habis-habisan.

"Kau baik-baik saja?" tanya seseorang yang tiba-tiba sudah berada disamping Hailee.

Hailee tersentak kaget, namun dia tetap mengangguk dengan hidung yang masih mimisan. "Maafkan aku." ujarnya pelan sambil menunduk.

Andrean tersenyum tipis. "Tunggu disini, jangan kemana-mana!" tegasnya lalu berdiri untuk membantu Dylan.

Tanpa pikir panjang Andrean langsung melancarkan serangannya. Dylan yang terlihat sudah kalang kabut tidak memperhatikan Andrean yang datang untuk membantunya. Ia terlalu marah dengan musuh dihadapannya. Ia marah karena tidak bisa melindungi orang yang seharusnya ia jaga.

"Lakukan saja! Kau tidak akan bisa melukaiku dengan sihir bodohmu itu!" Rudolf tertawa keras. Tangannya masih lihai memainkan tongkat sihirnya.

"Rasakan ini!" Kini Rudolf mengangkat tongkatnya dan sinar merah keluar dari ujung tongkatnya setelah merampalkan mantra yang lebih terdengar seperti bisikan setan.

Rainbow Eyes [ON-HOLD]Where stories live. Discover now