Part 1 A Pair of Shoes and A Cup of Coffee

Start from the beginning
                                    

Kuamati cowok yang entah sudah berapa hari tidak bercukur itu. Dia memiliki dagu persegi dan kulit sawo matang. Badannya yang kokoh dibalut kemeja hitam dan celana jeans.

"Yah, sepatumu jadi jelek," kata Pia.

Aku melepaskan pandanganku dari cowok itu dan mengamati sepatu Keds Sneaky Cat Taylor Swift warna kremku yang ketumpahan kopi. Sepatu itu kubeli karena ada gambar kucing hitam yang mengingatkanku pada Ireng, kucingku yang sudah mati. Waktu beli di toko hanya ada warna krem untuk ukuranku. Sebenarnya, aku tidak suka sepatu warna krem. Peristiwa ini membuatku bersumpah untuk tidak akan pernah membeli sepatu warna terang untuk selamanya.

"Nanti aku ganti," kata cowok itu.

"Enggak usah. Di sini udah enggak ada yang jual," jawabku ketus.

"Oke. Aku balik dulu," pamit cowok itu.

Dan, dia pergi begitu saja. Pandangan mataku mengikuti punggung cowok itu hingga dia menghilang.

"Ada perlu apa, Nat?" tanya Pia.

Kugeser tatapan mataku ke depan. "Tadi Jude nelpon. Dia bakal telat jemput kamu."

"Oh."

"Aku naik, ya," ujarku.

"Oke," balas Pia.

Aku naik ke lantai tujuh memakai lift. Begitu keluar dari lift aku melihat Indah, teman kantorku. Kemungkinan besar dia mau ke toilet.

"Nat...!" teriak Indah sambil berlari-lari kecil ke arahku. "Dicariin Madam, tuh."

Madam adalah panggilan yang kami berikan untuk bos kami, Bu Ivone, Chief Operating Officer Piurity Organic, perusahaan yang memproduksi makanan dan produk perawatan kulit organik. Perusahaan ini didirikan oleh Bu Ivone bersama dua rekannya.

Arrgh...! Kenapa dia harus datang menjelang jam pulang kantor?

Aku menghela napas. "Dia ke kantor?"

Dia mengangguk. "Mood-nya lagi jelek, tuh. Anak-anak udah pengin kabur aja."

"Bukannya mood-nya lebih sering jelek daripada bagus? Duluan, ya."

"Goodluck, Sis."

Kutinggalkan Indah, lalu masuk ke kantor. Aku berhenti di depan ruangan Madam. Kumasukkan ujung boyfriend shirt ke dalam high waisted jeans yang kupakai. Madam benci pegawai yang berpakaian tidak rapi.

"Mbak dicari Bu Ivone," kata Norma, sekretaris Madam.

"Dia di dalam, kan?" tanyaku.

Cewek berambut panjang itu mengangguk.

Aku mengetuk pintu dan baru masuk setelah Madam memintaku masuk. Perutku melilit. Hal ini selalu kurasakan setiap kali dipanggil Bu Ivone ke kantornya.

"Duduk!" perintah Madam tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop, sedangkan jari-jari tangannya menari di atas papan ketik.

Aku duduk di depan Madam. Dan, perutku terasa semakin melilit.

Dia mengalihkan pandangan dari laptop ke aku. Wajahnya tanpa senyum. "Nat, kamu ini gimana, sih? Kenapa nulis press release aja enggak becus? Malu-maluin," semprot Madam.

Aku menatapnya bingung.

Perasaan enggak nulis press release.

"Maaf, Bu. Boleh saya lihat?"

Dia menggeser laptop.

Aku memindah posisi dudukku menjadi miring agar bisa melihat press release tentang kinerja Piurity Organic pada kuartal ketiga tahun 2017. "Bukan saya yang bikin, Bu."

"Kalau bukan kamu, terus siapa?" tanyanya sambil memindah posisi laptop.

"Saya enggak tahu, Bu. Mungkin Belinda yang nulis."

Matanya menatapku tajam. Bagaikan burung elang yang siap menerkam mangsanya. "Kenapa kamu enggak bantu dia? Kerja di sini harus bisa kerja tim, kalau ada yang butuh bantuan harus siap kasih bantuan," dia ngomong dengan nada tinggi.

"Kalau dia minta bantuan, pasti saya bantu. Tapi, dia enggak pernah minta. Saya kan enggak tahu," aku membela diri sambil berusaha untuk tidak ikut-ikutan bicara dengan nada tinggi.

Sebenarnya posisiku adalah copywriter, tapi kenyataannya kadang aku merangkap sebagai sekretaris Madam. Ketika melamar kerja deskripsi pekerjaanku adalah menulis newsletter, kampanye untuk keperluan marketing dan memperbarui isi situs Piurity Organic. Aku juga bertugas sebagai admin media sosial. Oh iya, satu lagi syarat untuk menjadi pegawai di sini adalah harus membantu marketing ketika dibutuhkan.

"Oke. Sekarang kamu perbaiki press release ini. Kalau udah selesai, kirim ke saya dan Pak Ronald," ujarnya.

"Iya, Bu. Saya permisi dulu." Aku bangkit dari kursi dan keluar dari ruangan Madam. Sebelum kembali ke ruanganku aku meminta salinan press release dari Norma.

Ponselku berdering, ada telepon dari Jude. Aku mengabaikannya karena malas ngomong. Sebagai gantinya, aku mengirim pesan.

Nattaya: Aku sudah kasih tahu Pia. Jangan lupa besok mandiin anjing sama kucing.

Jude: Siap! Makasih Nat.

Aku duduk di depan laptop dan merevisi press release yang ditulis Belinda, Public Relation Piurity Organic. Tulisannya memang kacau pantes Madam ngomel-ngomel. Buntutnya aku tidak bisa pulang cepat hari ini. Aku menghela napas. Sepertinya hari ini adalah hari sialku. Diantara dua manusia menyebalkan yang kutemui hari ini, manakah yang harus kubunuh? Cowok yang merusak sepatuku atau Bu Ivone? Atau dua-duanya?

____________________________

Author's Note:

Cerita ini sebenarnya sudah di tulis sejak tahun lalu. Daripada ngendon di laptop dan terlupakan, mending diterbitkan di sini. Just simply read and vote if you like and ignore it if you don't like it. Seperti ceritaku sebelumnya, karakter utama dalam cerita ini juga berbeda dari protagonis dalam cerita pada umumnya. Just love her or leave her alone.

Happy reading and Merry Christmas for those who celebrate it. Selamat liburan buat yang lagi libur. Dan, selamat bekerja buat yang harus bekerja di hari libur.

See you soon.


Young and RestlessWhere stories live. Discover now