"Apa aku harus berakhir seperti ini?"

"Aku merindukanmu. Selalu."

Ana memandang pisau di genggamannya dengan pandangan kosong. Pikirannya berlayar ke beberapa bulan belakangan yang menampilkan sosok bahagianya saat bersama Dylan. Ia menjadi pribadi yang ceria lagi, namun itu tak berlangsung lama.

Ia ditolak. Lagi.

Cukup sudah penderitaannya selama ini. Ana hanya ingin bahagia. Mungkin, saat ia menyusul sang kakak mereka akan bahagia. Pasti.

Dengan perlahan namun pasti, Ana mengarahkan pisau itu ke pergelangan tangannya, atau yang lebih tepat ke arah denyut nadinya berada. Akankah ini akhir dari semuanya?

Satu goresan ia layangkan ke lengannya, sedikit darah yang keluar dari sayatan itu. Ana tersenyum kecil.

Satu goresan ia sematkan di lengannya dengan cukup dalam yang menimbulkan banyak darah yang keluar dari sayatan itu. Ana tersenyum.

Satu sayatan ia hadiahkan untuk lengannya yang selama ini selalu menahan dirinya di sini dengan cukup dalam dan aliran darah yang terus keluar akibat tindakannya. Ana tersenyum lebar.

Satu langkah lagi, maka semuanya akan berakhir.

Seperti biasanya, ia tak mengalami rasa sakit itu. Ia biasa saja. Tak ada ringisan kesakitan akibat sayatan-sayatan yang ia timbulkan.

Saat ia akan melayangkan satu goreskan akhir di pergelangan tangannya, sekelebat bayangan muncul di benaknya. Membuatnya teringat dengan momen indah itu. Dylan. Saat ia tersenyum dan menggodanya.

Ana menangis. Apakah ia harus mengakhiri semua kenangan indah bersama Dylan?

"Apakah aku harus menemui Dylan atau Kak Radit?" tanyanya dengan sedih. Dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya.

Ana teringat dengan kenangannya bersama Radit di saat ia masih berumur 5 tahun. Ia mengikuti Radit kemanapun Radit melangkah. Bahkan, saat Radit memasuki Taman Kanak-Kanak, Ana selalu mengikuti sang kakak hingga ke sekolahnya yang membuat kedua orangtuanya ikut menemani Ana dan Radit. Radit yang menjaga Ana dengan sangat luar biasanya, ia seakan tak membiarkan Ana terluka sedikitpun.

Ana menangis. Memori itu terus menghantuinya seakan tidak terima dengan keputusan yang Ana buat.

Ana mendekatkan pisau itu ke arah pergelangan tangannya. Memori itu berputar kembali, namun bukan Radit melainkan Dylan yang menjaganya bagaikan anak kecil yang perlu perlindungan. Bahkan, di saat ia tak berada di dekat Dylan, Dylan selalu melindunginya dari jauh oleh semua hal jahat yang mengincarnya setiap saat.

Ana kembali menangis. Menangisi keputusannya.

•••

Ana terbangun dengan pandangan kosong. Ia mengangkat kedua lengannya dan tak menampakkan segores lukapun. Jadi, ia terkalahkan oleh bayangan itu, Ana tertawa lirih sembari memasuki kamar mandi dan bersiap menuju tempat yang akan ia datangi.

Setelah siap dengan perlengkapan yang akan ia bawa, suara ponsel membuat langkahnya menuju pintu terhenti.

"Ya?"

"Lo di mana? Bel udah bunyi."

"Ke tempat biasa."

"Tapi, kan...."

"Ini hari penting buat gue."

"Lo pikir, pendidikan gak penting buat lo?"

"Lo tau jawabannya,"

"Gue kira lo udah berubah, tapi kayaknya gak akan pernah bisa berubah, ya?"

"Ya, inilah aku."

"Gue kecewa sama lo,"

"Tau ap--"

"Sekarang kita tanding basket, kalau Lo lupa, kapten."

Panggilan itu terputus secara sepihak oleh Key yang tak Ana tanggapi dengan melenggang meninggalkan rumahnya tanpa beban. Dia baru ingat hari ini masih sekolah, biarkan saja. Toh, sekolah bukan prioritasnya lagi, jadi untuk apa ia kembali ke sekolah? Dan jika basket, toh pelatih basket terbaiknya kini menunggunya.

Semilir angin pagi menerpa wajahnya dengan lembut. Jalanan tampak lenggang karena jam anak sekolah dan orang kantoran telah berakhir. Toko demi toko ia lewati sampai akhirnya ia berhenti di sebuah toko yang dipenuhi dengan corak-corak bunga, toko langganannya.

Denting lonceng menyambutnya ketika membuka pintu yang disambut dengan senyum ramah Vio dan hamparan bunga yang mampu membuatnya tersenyum.

"Ada yang bisa saya bantu, Na?" tanya Vio dengan ramah yang dibalas dengan senyuman oleh Ana.

"Seperti biasa, ya." Vio melangkahkan kakinya ke hamparan bunga baby breath. Bunga favorit seseorang yang tengah menunggunya kini. Vio berjalan mendekati Ana dengan sebuket bunga baby breath putih yang disambut Ana dengan riang. Ia memberikan sejumlah uang dan melanggang meninggalkan toko dengan Vio yang memandang punggungnya dengan lirih. Setitik air mata jatuh dari mata Vio menyaksikan Ana saat ini, ia membekap mulutnya untuk menahan tangisannya.

Tak berselang lama, Ana sampai ke tempat yang ingin dituju. Diambilnya buket bunga yang ia beli di toko Vio dengan penuh hati-hati dan berjalan dengan senyum manis yang terukir di bibirnya. Sampai ia bertemu seseorang yang akan ia temui.

Ana berlutut dan mengerahkan bunga itu kepada Radit, sang pelatih basket favoritnya. Tangisan Ana seketika pecah karena bayangan itu selalu menghiasi pikirannya. Ia dapat merasakan jika Radit kini tengah memeluknya dengan erat.

DylanaWhere stories live. Discover now