Chapter 29 (Miss)

6.6K 714 97
                                    

Mengurus salah satu cabang perusahaan di Seoul memang membutuhkan waktu yang cukup lama, apalagi tanpa adanya kehadiran Park Jimin yang kini sudah diusir lelaki tua itu dari hidupnya, membuatnya kembali mengurusi perusahaan ini sendirian. Ah, tidak, tapi ada satu anak laki-lakinya yang membantu, masuk ke dalam ruangannya dengan setelan jas terlampau rapi beserta derap sepatu pentofelnya yang terdengar elegan. Tapi, ada yang berbeda dari wajahnya yang semula selalu menampilkan senyum lembut menghangatkan, selalu membuat Tuan Park ikut tersenyum saat melihatnya, namun sekarang wajah itu terlampau datar, seperti menyimpan emosi yang terasa hendak keluar.

"Ayah." Adalah panggilan yang terdengar kemudian tepat ketika pria berumur 20-an itu mendudukkan dirinya di depan tuan Park yang kini membuka kacamata baca nya dan melipat tangan di meja.

"Ada apa, Jin ?." Tanya nya yang membuat Jin menghela napas sebentar.

"Kenapa ayah mengusir Jimin ?."

Dan pertanyaan itu mampu membuat tuan Park sedikit tersentak. Jujur, saat ia mengusir Jimin seminggu yang lalu, hidupnya seperti diliputi rasa bersalah, masih terbayang bagaimana wajah Jimin yang sangat terkejut dan juga tangisannya yang tidak pernah berhenti keluar. Ia tau bahwa Jimin sekarang sudah mulai berubah dan selalu menuruti perkataannya –kecuali dengan sesuatu yang berhubungan dengan Jungkook- mereka juga banyak menghabiskan waktu bersama saat di London dulu yang membuat Tuan Park sadar bahwa Jimin ingin menjadi anak yang berguna untuknya. Tapi, seminggu yang lalu, dengan begitu jahatnya ia mengusir Jimin yang bahkan sudah memohon dengan tangisannya, ia membentak anak bungsunya itu dengan kejam tanpa perasaan, membuat hal itu menjadi pikiran yang terus menghantui Tuan Park selama seminggu ini, meski ia selalu berusaha tampak tak peduli dan bersikap datar, nyatanya ketika tiba di rumah dari kepenatan kantor, dipikirannya hanya ada Park Jimin.

"Jin, ayah tidak suka kau membahas anak sialan itu." Tuan Park berucap memperingati, rahangnya mengetat rapat dengan tampang seolah tak peduli, membohongi diri sendiri saat rasa bersalah menghantuinya tanpa pernah berhenti.

"Ayah selalu membohongi diri ayah. Bersikap layaknya paling keras dan kuat, tapi ayah sangat terpukul dengan ini semua-" Jin melembutkan nada suaranya, sebelah tangannya terangkat untuk menggenggam tangan keriput sang ayah di atas meja, menatap sayu sang ayah dengan beribu kata yang ingin ia ucapkan, "-Ayah menyayangi Jimin dan ingin yang terbaik untuknya, tapi cara ayah salah. Bukannya membuat Jimin bahagia, hal itu hanya membuat dirinya semakin terluka, ayah. Dia sudah berusaha menjadi seperti yang ayah inginkan, pergi ke luar negeri dan belajar tekun hingga menjadi kaki tangan kepercayaan ayah dalam mengembangkan perusahaan. Apa ayah tak bisa sekali saja menuruti keinginannya ?."

Pria tua itu sedikit tertohok, napasnya tertahan sejenak dengan pandangan mata yang terarah pada Jin yang mengangguk membujuknya, menyuruhnya memikirkan semua kalimat yang sudah ia lontarkan.

Benar, sejak dulu dia selalu menyuruh Jimin ini dan itu, belajar banyak hal bahkan di usianya yang masih terlalu dini untuk menuntut ilmu; disaat bahkan teman-temannya masih bermain riang. Jimin selalu mengikuti perkataannya hingga saat SHS jiwa pemberontakkannya keluar karena kurangnya perhatian dari sang ayah; karena semua tuntutan yang seakan membuat kepalanya serasa mau pecah. Jimin selama ini sudah berusaha melakukan terbaik, tapi hal itu selalu dianggap kurang dan belum mencukupi. Jimin berusaha membahagiakannya meski ia terus menekannya.

"Ayah, seumur hidupnya Jimin hanya minta satu darimu-"

Tuan Park kembali menatap Jin dengan pikirannya yang kalut.

"-Tolong biarkan ia bersama cinta nya. Tolong restui dia bersama Jungkook. Hanya itu."

.

.

Jimin lebih sering melamun dan menghabiskan waktu di depan televisi saat Jungkook pergi bekerja dan akan pulang sore nya lagi, atau kalau sedang sial Jungkook akan pulang tengah malam. Jimin tak banyak keluar dari apartement pemuda itu, paling jauh hanya pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan dan kemudian pulang, lalu memasak untuk Jungkook, setelah semuanya selesai, ia hanya akan duduk di samping jendela atau di balkon untuk menikmati sapuan angin dengan pikirannya yang melalang buana, memikirkan sang ayah yang mungkin sendirian di rumah sebab Jin dan istrinya pasti tinggal di rumah mereka yang ada di Seoul. Atau Jimin hanya akan duduk di depan televisi dengan siaran yang berlangsung, tapi ia tak sepenuhnya menonton, tatapannya kosong dan itu benar-benar terlihat mengerikan jikalau Jimin mempunyai pikiran yang nekat; bunuh diri misalnya ? Tapi, untunglah Jimin masih punyai pikiran jernih.

Cutie Nerd Boy (KookMin) (SUDAH DITERBITKAN)Where stories live. Discover now