16. Tapi Hatiku Bisa Melihat

Start from the beginning
                                    

"Oh, bando kamu ...." Rayn sudah berdiri di sampingnya. Ikut menonton Ardi dan Jihan kejar-kejaran keliling kebun. 

Sesaat kemudian, Ardi sudah berhasil menangkap Jihan. Jihan menyembunyikan bando Megan di belakang punggung. Ardi tampak berusaha membujuk. Namun lengah sedikit, Jihan sudah lari lagi masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Ardi yang mengentakkan kaki jengkel. Rayn tertawa. "Dan bola voli kalah sama bola bekel."

Ardi bergabung dengan mereka. "Maaf, Meg. Jihan enggak mempan bujukan. Padahal bandomu kegedan buat dia."

"Enggak apa-apa. Aku bisa beli lagi," sahut Megan enteng. Walau berarti ia harus mengulang lagi proses memilih dan mencoba-coba yang bikin baper. Tante Naura bilang bando seperti itu bisa bikin sendiri, daripada beli. Megan enggak yakin bisa, salah-salah hasilnya berantakan dan buang duit lebih banyak. Lagian ia perlu ciri pengenal segera. Tanpa itu, ia enggak eksis bagi cowok di sampingnya ini.

"Eh, di dekat butik Mami ada toko aksesoris," kata Rayn. "Dari sini, Mami mau balik lagi ke butiknya. Kalau kamu mau, bareng lagi saja pulangnya, dan mampir ke sana. Aku temani beli bando baru."

Mata Megan membelalak. Menoleh cepat pada Rayn. Sadarkah cowok itu, sudah menawarinya jalan berdua, terang-terangan? Bisa dianggap modus, kan? Setidaknya oleh hatinya yang sekarang melompat-lompat liar. Tapi tampang Rayn begitu polos. Kalaupun ada apa-apanya, cowok itu rapi menyembunyikannya di balik tawaran logis.

Lalu gimana Ardi? Megan jadi kepo dengan ekspresi si periang. Apa yang ada di benak Ardi mendengar kata-kata sahabatnya? Tapi sekali lagi Megan tercengang. Ardi menonjok bahu Rayn main-main. "Ide bagus. Kamu jadi langsung tahu pengenal Megan yang baru. Senin nanti enggak bakal kelimpungan."

Megan diam-diam mengembuskan napas. Sesak tiba-tiba. Apa yang diharapkannya? Ardi cemburu, yang berarti mengakui posisinya di mata Rayn? Ya Tuhan, kenapa ia begitu egois? Cowok itu bahkan hanya memikirkan Rayn, tidak mendahulukan perasaan sendiri. Shame on you, Megan!

"Sudah sore, sebaiknya aku pulang langsung saja. Tante Naura nanti cemas," kata Megan, dan sesuatu di dalam dadanya berderak pecah. Ia telah melewatkan satu kesempatan indah yang mungkin tak akan datang lagi. Tapi ini yang terbaik untuk kedua sahabat itu. Dan Megan yakin banget, ia melihat kelegaan pada senyum Ardi.

"Aku coba bujuk Jihan lagi kalau begitu," katanya. Begitu saja Ardi meninggalkan mereka.

Rayn memandang Megan. Kali ini berlama-lama. Ekspresi yang sama. Yang dengan geer dan baper, ditranskripsikan Megan begini, "Hai, apakah kita sudah pernah ketemu sebelum ini? Kalau lihat wajahmu, kayaknya baru kali ini. Tapi ajaibnya aku langsung nyaman berada di dekatmu. Perasaanku selalu sama, aku jadi yakin, aku mengenali kamu jauh lebih dalam, menembus permukaan."

Lalu mata Rayn melebar. Seperti takjub. "Pipi kamu memerah."

Oh my God! Megan memejamkan mata rapat-rapat karena malu. "Kamu bisa lihat?"

"Bisa dong." Rayn tertawa. "Mungkin seperti yang disebut-sebut di buku ya, blushing, merona, bersemu merah, tersipu, karena malu. Sebelum ini, aku enggak pernah bisa bayangin setiap kali baca deskripsi begitu di novel. Baru lihat ya di pipimu. Jadi pengin lihat terus, tapi harus live, karena otakku enggak bisa memutar ulang—"

"Rayn!" tukas Megan, membuka mata tapi menutup muka dengan kedua tangan sekarang. Pipinya seperti terbakar. Lalu sadar, ia justru menghalangi pandangan Rayn. Pelan-pelan, Megan menurunkan tangan, menoleh pada cowok itu.

"Terima kasih." Rayn mengerjap.

Megan mengangguk. Enggak tahu harus ngomong apa. Perasaannya sudah tidak terdefinisikan. Tapi nalarnya membuat koneksi secepat kilat. Cewek mana pun akan blushing kalau dipandangi Rayn seperti itu. Dijamin. Tapi Rayn baru sadar setelah melihat pipinya. Artinya, Rayn tidak memperhatikan cewek-cewek lain seintens memperhatikan dia. Bolehkah ini dianggap sebagai bukti?

PELIK [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now