Psyco boyfriend

3.4K 331 33
                                    

Minggu malam,

Arthit sudah terlalu banyak tidur pada pagi harinya sehingga tidak merasa ingin cepat terlelap saat itu, laki-laki itu menatap gorden balkon kamar yang terbuka, sengaja untuk memberi penerangan alami karena sejak beberapa jam yang lalu listrik di penjuru kota mendadak padam. Dari tempatnya berbaring, dilihatnya balkon dan jendela kamarnya sendiri, gelap dan sunyi.

Laki-laki itu menggigit bibir, membayangkan banyak hal yang selama ini terlewatkan olehnya.

"P'Arthit?"

Kongpob sebelumnya sudah terlelap, kini menatapnya dengan pandangan mengantuk "Belum tidur?" Tanyanya sambil membuat tubuhnya bersandar di kepala ranjang agar sejajar dengan Arthit.

"Tidurlah. Aku belum mengantuk" Jawab Arthit, tidak tega melihat kekasihnya berusaha bangun.

"P'Arthit takut gelap?" tanyanya lagi.

Arthit menggeleng.

"Lalu?"

Arthit hanya menatapnya sekilas lalu kembali membuang pandangan keluar. Kongpob memanfaatkan kesempatan itu untuk meraih botol minuman di nakas, beberapa teguk air mineral berhasil membangunkan kesadarannya ke level utuh.

"Aku tahu P'Arthit sedang memikirkan sesuatu. Tapi kalau kau tidak berniat cerita tidak apa-apa, aku akan tetap menemanimu disini" Ujarnya, sembari menyamankan tumpukan bantal di punggungnya.

Arthit menatap kekasihnya ragu-ragu, berpikir konyol tidaknya pembahasan yang akan dia lontarkan kali ini. Tapi dia mendadak penasaran.

"Kongpob, katakan dengan jujur. Selama hampir satu semester kau tahu letak kamarku. Apa saja yang sudah kau lihat?" tanyanya pada akhirnya, dia tidak tahu kenapa tiba-tiba suaranya jadi meninggi. Tapi membayangkan kemungkinan hal-hal konyol -atau jorok yang dilakukannya di kamar yang diyakininya aman dari pandangan orang membuatnya kesal.

Kongpob tersenyum mendengar pertanyaan itu, tanpa sadar membayangkan memori saat dirinya masih diam-diam memperhatikan seniornya ini.

"Jangan tersenyum, jawab aku! Apa aku pernah melakukan hal jorok,atau memalukan?"

"P'Arthit sendiri merasa melakukan hal-hal itu tidak?" tanya Kong malah menertawakannya terang-terangan.

"Jangan balik nanya, jawab aku!" Ucapnya semakin tidak sabar.

Kongpob menghela nafas, memutuskan untuk berhenti bermain-main "Tidak ada, P'. Semua yang aku lihat darimu semuanya keren" Jawabnya jujur.

"Begitu? Tapi kenapa aku tidak percaya, ya?" Sinis Arthit sambil merapatkan selimutnya untuk dipeluk. Laki-laki itu tidak merasa harus mengkhawatirkan rona wajahnya karena suasana kamar yang gelap.

"Aku tidak bohong, P'. Bahkan ketika kau mengomel saat menerima telepon, menggaruk bokongmu dengan malas karena benci bangun pagi tetap keren di mataku"

"Ish bocah ini... jauh-jauh sana, aneh" Ujarnya sambil mendorong tubuh Kong agar menjaga jarak dengannya, tubuhnya menggigil sendiri mengingat moment memalukan yang selalu dilakukannya setiap pagi itu.

"Tapi serius, Kongpob. Semakin kupikirkan, aku berpikir kau ini seperti psikopat, diam-diam memperhatikan orang dari seberang, berbulan-bulan. Untung sekarang kau pacarku, kalau tidak, nih, pasti bogem ini sudah melayang ke wajahmu"

Kongpob menggeleng-geleng tidak habis pikir dengan kekasihnya "Tapi P'Arthit tidak memukulku saat pertama kali mengetahui fakta itu" Ujarnya. Arthit menatapnya, seakan baru sadar akan kebenaran kalimat itu.

"Itu karena saat itu ada banyak hal tidak terduga terjadi. Dan lagi aku sedang numpang di kamarmu" elaknya. Kongpob hanya menjawabnya dengan gumaman menyetujui, tidak berniat berdebat.

"Jadi, sudah berapa banyak temanmu yang tahu soal ini dan menertawakanku di belakang?"

Ekspresi wajah Kong berubah murung "Aku sudah pernah mengatakannya padamu, Phi. Tidak ada temanku yang aku beritahu soal ini, bahkan sampai sekarang"

"Kenapa?"

"Karena aku tidak mau mereka melihat apa yang kulihat, aku ingin menyimpan P'Arthit untuk diriku sendiri"

"See. Kau psyco!"

"Au, Phi. Aku hanya sangaat menyukaimu dan menjadi posesif karenanya. Apa yang salah dengan itu?"

Arthit bergumam tidak jelas. Buru-buru membaringkan tubuhnya dan mengangkat selimutnya hingga sampai ke leher. Kongpob ikut berbaring dan mengambil kesempatan menyelipkan tangannya diatas dada Arthit, memeluknya.

"Tapi aku senang karena tidak harus memandangimu dari jauh lagi. Saat itu setiap kali aku melihatmu, aku bahagia, tapi tersiksa disaat bersamaan karena obsesiku untuk bisa menyentuhmu semakin besar. Aku selalu berharap dengan melihatmu sebelum tidur, kau bisa masuk dalam mimpiku dan membuat pagiku lebih segar. Beberapa malam setelah aku menyatakan perasaanku saat itu, rasanya jantungku ingin meledak karena mengantisipasi P'Arthit yang tidak kunjung menyalakan lampu"

"Maafkan aku, Kong. Sudah membuatmu menunggu lama" Kongpob membalas kalimat itu dengan mengeratkan pelukannya pada sang kekasih, Arthit sendiri tidak keberatan dengan kontak fisik itu, kedua tangannya memeluk tangan Kongpob yang bertengger di dadanya, kepala mereka saling berdekatan hingga wangi shampo yang mereka gunakan bersama menguar di udara.

Kongpob mendadak tersenyum lalu menatap siluet P'Arthitnya dari samping "Tapi kurasa P'Arthit benar saat mengatakan kalau aku ini psyco"

"Kenapa?" Arthit menoleh dan merasa ada hal mengerikan yang akan diucapkan kekasihnya.

"Karena aku juga menikmati saat P'Arthit topless dari kamar mandi"

"WHAT?"

"WHAT?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pillow TalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang