Prolog

3.9K 441 85
                                    


Prolog

Petikan gitar terdengar mengalun dari dalam ruang musik. Pintunya pasti terbuka! Kulirik jam, benar ternyata, ini sudah pukul tujuh malam. Ada satu rutinitas yang seperti sudah berubah menjadi sebuah kewajiban. Morina, anakku yang baru berusia tigabelas tahun, akan selalu mulai bermain dengan gitarnya setiap hari dari pukul tujuh hingga sembilan malam. Sebesar apa pun aku berusaha membuatnya berhenti, dia akan selalu kembali melakukan hal yang sama.

Tidak mungkin terhindarkan sebenarnya kebiasaan yang satu ini. Barry, ayahnya adalah musisi. Bagaimana mungkin anak ini tidak mewarisi kecintaan bapaknya pada musik? Sedari kecil, Mori – begitu aku memanggil gadis kecilku – sudah terpapar gambaran ayahnya memainkan gitar, membuat komposisi lagu, menghibur banyak orang di atas panggung, hingga memendam rasa senang dan sedihnya menjadi sebuah lantunan instrument di ruang musik. Mori merekam segalanya sejak kecil. Barry tidak juga bisa disalahkan untuk hal itu.

Kadang kala, melihat Mori membawaku mengingat Barry sebelum kami bersama. Mori sangat mirip dengan Barry, sama sekali tidak mewarisi sifatku. Alis matanya yang tebal, rahangnya yang tegas, bahkan rambutnya yang agak ikal namun selalu tertata manis. Hanya satu hal yang membuat Mori berbeda dengan Barry dan itu terletak di matanya. Mata Mori berwarna biru, warisan ibunya, tentu saja. Cantik sekali mata itu. Mata biru Mori membuatku selalu sadar bahwa Mori adalah anak kami dan bukan anak Barry seorang.

"Bunda!" Mori memanggilku yang sedari tadi berdiri di ambang pintu. "Kok Bunda diam di situ aja?"

"Ini lagu apa? Bagus banget, Mori. Siapa yang ajarin kamu?" aku melangkahkan kakiku memasuki ruangan milik Barry dan Mori itu.

Mata biru Mori bersinar bahagia dan tangannya segera menyerahkan padaku kumpulan kertas berisi tangga nada. "Ini lagu buatan Papa."

Aku tersenyum membaca judulnya. Memento Mori. Kemudian senyumku hilang ditelan pesan yang ada di ujung kanan atas kertas. Buat kamu yang sudah melahirkan Mori. Terima kasih.

"Papa buat lagu ini untuk Bunda? Di situ ditulisnya lagu ini untuk orang yang sudah melahirkan Mori. Berarti itu buat Bunda kan?" Mori tampak kembali tersenyum bahagia.

Kuanggukkan kepalaku. "Papa sering buat lagu untuk Bunda, deh, tapi ini yang paling spesial. Kamu tahu kenapa?"

Mori menggelengkan kepalanya. Kuusap rambut hitamnya. "Karena lagu ini bukan hanya untuk Bunda tapi juga buat kamu. Papa pasti bahagia punya anak seperti kamu, sampai membuat lagu terima kasih untuk Bunda karena sudah melahirkan kamu."

Tak lama, gadis kecil ini memelukku. "Terima kasih, Bunda."

Hatiku sedikit sakit merasakan pelukan ini. Tidak seharusnya pelukan ini jadi milikku. Bukan begitu, Barry? Suatu saat nanti, Mori harus tahu tentang cerita kita, Barry. Dia pantas dan berhak tahu. Malaikat kecil ini, aku akan melindunginya. Suatu saat nanti akan kutulis kembali risalah insani tentang manusia yang saling mengasihi, namun ternyata kasih tidak akan pernah cukup adanya. Memento Mori, buat separuh jiwa-ku, Barry. Begitu judul cerita itu nanti, Barry.

***

ps: 

cerita ini adalah lanjutan dari "Alfa & Omega" yang sudah diterbitkan dan tersedia di seluruh toko buku di Indonesia. Memento Mori baru akan mulai ditulis pada 2018. bagi yang ingin membaca cerita ini sebenarnya bisa sih langsung baca aja, tapi akan lebih paham kalau sudah baca cerita "Alfa & Omega" lebih dahulu huehehehe. see you soon! 

xoxo, 


mongs

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 17, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Memento Mori #4 (Serial Bintara)Where stories live. Discover now