#Episode XXII

6K 828 192
                                    

Ahrin berani bersumpah dengan hadirnya Jimin di dekatnya, dengan jarak yang sedekat ini, dia bisa merasakan betapa berantakannya tempo detak jantungnya.

Dan ketika Jimin mulai berbicara, Ahrin merasa dia berhenti bernapas. Tanpa disadarinya, gadis itu menahan napas cukup dalam, cukup lama, tanpa melakukan pergerakan apapun. Tatapannya terus terikat pada Jimin.

Katakan kalau Ahrin sok tahu, dia tidak peduli sekarang. Dia hanya merasa kalau ada sesuatu yang terpancar dalam netra milik Jimin. Sebuah perasaan yang tidak bisa dideskripsikan dan tidak bisa laki-laki itu ceritakan pada siapapun.

“Aku...”

Dan lagi, napas Ahrin tertahan. Ketika hidungnya dan hidung Jimin bersentuhan, pikirannya buyar. Sesuatu yang disebut “kewarasan” seakan perlahan meninggalkan Ahrin. Yang Ahrin lakukan justru memejamkan matanya, entah untuk alasan apa.

Matanya masih terpejam, seakan menunggu sesuatu. Hingga suara yang cukup keras terdengar menusuk gendang telinga.

Dar!

Suara kembag api yang melesat di langit membuat netra Ahrin terbuka seketika. Matanya membulat, begitu juga dengan Jimin, seakan keduanya baru saja tersadar dari sesuatu yang tidak mereka sadari sedang mereka lakuka.

Keduanya mematung, tidak melakukan gerakan apapun selama beberapa detik. Ada sesuatu yang nyaris terjadi, bukan begitu?

Jimin memutuskan untuk mengambil langkah mundur, membuang arah tatapannya ke arah lain. Terserah ke arah mana, tapi tidak pada Ahrin. Ke mana saja kecuali Ahrin.

Pipinya terasa memanas secara perlahan, darahnya berdesir dan mengumpul di kedua pipinya yang berisi. Jimin hanya bisa mengumpat dalam hati selagi wajahnya masih ia palingkan.

Sialan. Sialan. Sialan.

“Jim...”

Suara itu membuat Jimin menoleh. Akhirnya Jimin kembali menolehkan kepalanya dan memandangi Ahrin.

“Ya?”

Ahrin terdiam sejenak, membiarkan hanya matanya yang bergerak memandangi Jimin untuk beberapa saat sampai bibirnya terbuka dan ia kembali menyeletuk.

“Aku tidak mau.”

“Apa?” Jimin kebingungan.

Kedua tangan Ahrin bergerak merapatkan jaket yang dikenakannya selagi dia membalas, “Apapun alasannya, pokoknya tidak. Kau tidak bisa memberikan alasan apapun untuk meminta temanmu menjauhimu, Jim. Itu bodoh.”

“Rin, dengar ya, aku...”

“Pokoknya tidak!” Ahrin dengan cepat memotong, seakan tidak mengizinkan Jimin untuk berpendapat dan berkomentar. Tidak boleh ada interupsi. Sama sekali tidak boleh.

“Aku tidak ingin kehilangan teman, jadi tolong jangan minta aku untuk melakukan hal itu.”

Awalnya Ahrin memang berteriak. Tapi ketika bibirnya melontar kalimat itu, suaranya berubah parau dan pelan. Ada rasa sesak yang terselip di sana.

Sungguh, Ahrin tidak ingin melakukannya. Apapun alasannya.

Memang dia sendiri berpendapat kalau Jimin itu berbahaya. Jimin tidak disukai banyak orang. Jimin tidak punya teman. Tapi berbeda sekarang.

Time changes people’s mind, right?

Dan sekarang, Ahrin bersyukur pikirannya berubah. Dia bersyukur dia mengenal Jimin. Dia bersyukur meskipun dia satu-satunya teman di sekolah yang Jimin miliki. Dia bersyukur dia tahu soal teror dan bom ini meskipun dia ingin Jimin menghentikan semua ini.

The Prodigy ♤ (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang