Chapter 11

6.7K 440 55
                                    

Baim mendirikan tenda untuk tempat berlindung karena hujan gerimis kembali turun. Imron yang sudah terlihat tidak berdaya mencoba membaringkan tubuhnya, wajahnya terlihat semakin pucat saja.

"Mungkin dia masuk angin, gosok tubuhnya." Kata Baim sambil menyerahkan satu botol kecil minyak kayu putih kepadaku.

Aku masuk kedalam tenda, sebelum menggosok tubuh Imron aku memberinya air hangat yang sebelumnya telah dimasak Baim.

"Ini air rebusan jahe dan sedikit gula merah, biar tubuhmu hangat."

"Kepalaku pusing, perutku mual ingin muntah."

"Setelah minum ini dan istirahat kamu akan kembali seperti semula."

Ramuan sederhana yang masih mengepulkan asap itu diminum Imron sedikit demi sedikit. Sementara sebelah tanganku menggosok punggunya dengan kayu putih. Tubuhnya terasa sangat dingin, padahal dia menggunakan dua lapis jaket.

"Sebentar lagi nasinya matang, kita akan makan dan setelah itu cepat-cepat turun kebawah."

"Aku tidak lapar, aku pusing dan mual. Rasanya sudah tidak kuat berjalan."

"Huss ! jangan ngomong begitu, bukankah kamu ingin agar Hesti cepat ditemukan ? semakin cepat kita kebawah memberi laporan, semakin cepat pencarian dilakukan."

Setelah menghabiskan setengah gelas air rebusan jahe Imron kembali membaringkan tubuhnya. Aku kembali keluar tenda untuk menemani Baim menanak nasi. Walaupun diluar gerimis, tapi air tidak membasahi kami separah waktu diatas tadi, disini banyak pohon besar yang dahan dan daunnya saling berhimpit sehingga menutup jalur air dari atas.

Nasi yang dimasak mulai meletupkan buih, uap yang mengepul dari panci kecil sengaja aku tahan pake tangan untuk mendapatkan kehangatan.

"Apakah tanganmu sudah baikan ?"

"Masih perih, tapi setidaknya sudah tidak mengeluarkan darah lagi. Apakah kita masih akan sampai dibawah sebelum hari gelap Im ?"

"Tidak mungkin, sekarang saja sudah jam berapa. Kita turunnya pelan-pelan saja, yang penting semuanya selamat."

"Kalau kita kemalaman dijalan. Apakah kita akan mendirikan tenda lagi ?"

"Rasanya itu bukan pilihan yang baik. Kalau bisa kita harus tetap melanjutkan perjalanan kebawah. Mungkin akan sedikit sulit mengingat kondisi kamu dan Imron sekarang sedang tidak baik, tapi kita tidak punya pilihan."

Nasi telah matang. Baim menuangkannya diatas piring, kini aku yang bertugas untuk membolak-balik nasi itu dengan sendok sambil meniupnya agar menjadi dingin. Semenatar Baim mengeluarkan dua butir telur dari dalam ranselnya, mungkin itu bekal yang dia bawa karena jujur saja aku dan Imron tidak membawa bahan makanan mentah kecuali mie instan.

Dua butir telor dipecahkan, setelah diberi sedikit garam dan 4 buah cabe rawit juga bawang merah yang telah dicincang kini dimasukan kedalam panci bekas menanak nasi yang sudah berisi mentega cair.

Semerbak bau bawang tercium dan membangkitkan selera makan. Untuk sesaat rasa sakit dan khawatir terlupakan hanya dengan wangi telur dadar. Setelah dirasa cukup matang Baim menuangkannya kewadah untuk selanjutnya memasak menu lainnya.

Sepiring nasi putih, dua buah telur dadar yang tebal dan semangkuk mie goreng kini sudah tersaji. Sebelum acara makan dimulai aku membangunkan Imron didalam tenda.

"Aku tidak berselera."

"Harus kamu paksakan makan." Kata Baim kepada Imron.

Namun belum sempat kami memulai acara makan bersama, tiba-tiba dari arah atas terdengar suara seorang pria berteriak.

KABUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang