Chapter 12

5.4K 386 26
                                    

"Sebaiknya kita malam ini tidur dulu, tidak mungkin melanjutkan perjalanan malam-malam, kondisi jalan yang licin akan membahayakan." Kata Baim.

Keempat teman baru kami juga mendirikan tenda yang berjarak beberapa meter saja dari tenda kami bertiga. Kita mulai sedikit akrab walaupun pertemuan diawali dengan cerita yang mengerikan. Kami semua berkumpul mengelilingi api unggun, menghangatkan badan sambil menikmati teh panas yang dibuat oleh Baim.

"Apa kalian mahasiswa ?" Tanyaku pada mereka.

"Tidak kami sudah lulus dua tahun yang lalu."

"Jadi kalian bekerja ?"

"Belum. Kalau kalian ?"

"Belum. kami baru saja lulus. Pendakian ini adalah bentuk perayaan kecil kami karena telah menerima ijazah." Aku menjawab.

"Oh iya, daritadi kita belum berkenalan ?"

Setelah berkenalan barulah aku tahu dari nama mereka masing-masing. Tapi aku bukan tipe orang yang suka mengingat nama-nama orang yang baru dikenal. Jadi aku menamai mereka dengan sebutan didalam kepalaku dengan nama pria 1,2,3 dan satu lagi aku tidak menyebutnya dengan angka, karena dia memakai kacamata. Lebih mudah diingat jika aku memanggilnya pria berkacamata.

Kami berbincang banyak hal. Melupakan kejadian mengerikan yang tadi sore baru saja mereka ceritakan. Sampai akhirnya Baim menyuruhku untuk tidur, karena dia dari tadi terus melihat jam tangan mungkin hari sudah hampir tengah malam. Baim tidak mau kita bangun terlalu siang. Aku dan Baim masuk kedalam tenda. Sedangkakan keempat orang ini baru mulai memasak untuk makan malam.

Imron tampak sudah terlelap dalam tidurnya. Mungkin dia memang masuk angin dan kelelahan saat tadi sore mengeluh pusing. Sedangkan aku dan Baim disampingnya masih berbincang sambil menunggu rasa kantuk datang.

Entah berapa lama aku tertidur lelap, sampai akhirnya aku terbangun lagi karena merasa ada yang mengguncang-guncangkan tanganku. Saat tidur aku memang lupa menutup tenda.

"Iyah." Saat aku membuka mata, si pria berkacamata sedang jongkok didepanku.

"Bisakah aku masuk ?"

"Disini sudah penuh. Bukankah kalian mendirikan dua tenda ?"

"Bukan. Aku datang bukan untuk menumpang tidur. Ada hal yang ingin aku bicarakan."

Aku membangunkan Baim, karena tenda kami begitu sempit jika dipakai berbaring oleh tiga orang. Agar si pria berkacama bisa masuk, maka harus ada dua orang yang duduk. Baim sempat yang masih belum sadar, bertanya ada apa. aku menggelengkan kepala, tapi setelah melihat tamu kita diluar dia akhirnya bisa mengerti dan duduk disampingku dengan keadaan masih setengah sadar.

"Silahkan masuk. Memang tidak bisakah kita berbicara diluar ?"

"Tidak bisa. Ini sangat penting."

"Ketiga temanku itu gila." Katanya dengan suara pelan.

Aku dan Baim saling berpandangan. Aku merasa sedikit kaget, tapi Baim tampaknya masih ngantuk sehingga tidak peduli dengan ucapan si pria berkacamata. Aku mulai berpikir bahwa si pria berkacamata-lah yang gila, dia bangunkan kami berdua malam-malam hanya untuk bergosip.

"Apa maksudmu ?"

"Bisakah kamu berbicara pelan-pelan saja. Ini adalah sebuah rahasia yang aku akan beritahukan kepada kalian. Aku ingin kalian menjadi saksi, bila nanti kita sampai dibawah. Aku tidak bisa mengadu sendirian." Si pria berkacamata mulai terlihat tegang. Bahkan aku bisa melihat jidatnya berkeringat.

"Apa, aku tidak mengerti ?"

"Aku mohon, berbisik atau pelan-pelan saja bicaranya. Aku akan menceritakannya, kalian akan mengerti nanti. tapi dengarkan dulu aku sampai beres."

KABUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang