Chapter 3

7.6K 449 15
                                    

"Tidak ada yang kulakukan, aku hanya mendengarkannya sampai suara itu hilang."

"Kamu tidak takut ?"

"Aku malah ingin berjoget mendengarnya. Hehehe.."

"Takabur kamu Im.."

"Sebagai orang normal tentu saja aku takut. Sudah kodrat manusia kalau takut pada hal-hal yang tidak lazim. Suara gamelan digunung tentu saja membuat merinding setiap orang yang mendengarnya. Namun apa yang harus kulakukan ? berteriak ? menyuruh suara itu diam ? atau kabur sendirian kebawah ? aku lebih baik memilih diam saja dan berpura-pura semuanya baik-baik saja."

Baim mengambil lagi sisa air mineralnya, dan kini ia minumnya sampai habis.

"Sialnya keesokan harinya sekitar jam 4 pagi saat kami semua menunggu matahari terbit, obrolan tentang suara gamelan semalam mulai hangat diperbincangkan. Ternyata bukan aku dan kedua bocah itu saja yang mendengar, namun hampir semuanya. Tapi saat mendengarnya semalam mereka lebih memilih diam dalam ketakutan, berkeringat dingin dibawah sleeping bag."

"Terus ?"

"Karena keadaan semakin gaduh, aku berbisik kepada anak-anak baru ini untuk tidak membicarakan kejadian semalam. Aku tidak tahu ini sebuah kebenaran atau hanya mitos yang dibuat orang-orang, dulu saat pertama mendaki seniorku selalu berpesan saat kamu mengalami kejadian aneh atau mistis saat pendakian, kamu tidak boleh menceritakannya kepada teman atau membicarakannya saat perjalanan. Kamu hanya boleh memberitahu apa yang kamu lihat atau alami saat kamu sudah turun atau pergi jauh dari gunung itu."

"Kenapa ?" Sambil aku kerutkan kening, untuk meyakinkan Baim bahwa aku penasaran.

"Aku tidak tahu. Mungkin dedemitnya akan marah. Atau mungkin alasan yang lebih logis agar tidak mengganggu pendakian."

Pesan Baim itu akan selalu aku ingat, tidak boleh membicarakan atau memberitahu pada teman sependakian kalau-kalau nanti digunung aku mengalami kejadian aneh atau melihat makhluk halus. Terlepas itu hanya sebuah mitos atau kebenaran, tapi sebagai pendaki pemula aku terpaksa mempercayainya.

Kecepatan bus mulai melambat dan berbelok kesebuah parkiran disamping rumah makan. Setelah berhenti, si kernet bus memberitahu bahwa sobekan tiket yang kami pegang bisa ditukar dengan makanan didalam. Semua orang langsung turun dari bus, ada yang langsung pergi ke toilet, pergi untuk mengantri makanan atau bahkan hanya duduk-duduk santai menikmati sebatang rokok.

Rumah makan tempat kami beristirahat ini tidaklah terlalu besar, hanya terdapat lima meja panjang didalamnya. menunya juga sangat sederhana hanya berupa nasi putih, ayam sayur dan kerupuk udang. Mungkin disiang hari warung ini lebih rame, tapi mengingat ini sudah hampir dini hari hanya menu seadanya dan tinggal tiga atau mungkin empat pelayan saja yang ada disana.

"Nanti setelah makan, sebaiknya kalian tidur. Karena nanti pagi-pagi kalau sudah sampai terminal tidak ada waktu lagi buat istirahat." Kata Baim ketika kami berempat sudah duduk dibangku dengan piring nasi masing-masing.

"Gunung apa yang akan kita daki mas Baim ?" Tanya Hesti.

"Belum ada rencana, karena aku juga baru pertama kali datang ke jawa tengah. Tapi kalau sudah sampai terminal nanti kita rencanakan disana, mana rute yang terdekat dan pas dengan persiapan kita."

Imron tampak tidak bersemangat menyentuh makanan, hanya sesuap dua suap dia paksa jejalkan kedalam mulutnya. Aku juga tidak berselera sebenarnya, selain rasa mual yang belum hilang makan pada dini hari tampaknya bukan pilihan apalagi dengan menu yang tidak menggugah ini.

Ayam sayurnya Nampak pucat, begitu kucoba satu gigit rasanya hambar hanya samar-samar saja rasa garam. nasinya juga sudah sedikit kering dan garing saat dimakan, tapi bagi Baim nampaknya bukan masalah, dia begitu lahap menyantapnya.

KABUTWhere stories live. Discover now