Prolog (Bagian 3)

27 4 27
                                    


Setelah sampai di 'kotak penjualan' yang terletak di samping gubuk, aku segera mengeluarkan 'susu Sebastian' dari dalam tas.

Ugh! Berat sekali!

            KIETTT!!!

"Hup!"

            BRAKKK!!!

Inilah suara yang dikeluarkan dari kotak penjualan yang reyot ini. Besar dari kotak penjualan kira-kira satu setengah kali dua 'langkah kaki', dengan tinggi sekitar setengah dari tinggi badanku. (catatan, aku memiliki tinggi sekitar tiga setengah 'langkah kaki') Layaknya tas pinggangku, susu Sebastian menyusut saat memasuki kotak tersebut.

Setiap hari, Penyihir Regina selalu datang ke sini untuk mengambil isi dari kotak penjualan, waktu kehadirannya selalu tepat di 'garis kesembilan' dari jam pasir 'matahari bulan'.

Sebanyak apapun isi yang kumasukan ke dalam kotak, Penyihir Regina selalu mengambil keseluruhan isi kotak tanpa kesulitan. Entah mengapa, tas miliknya tidak seperti tas pinggangku yang hanya 'mengecilkan' isinya tanpa 'mengurangi' berat benda yang ada didalamnya. Terkadang, tas yang berisi penuh dengan barang-barang hasil kebun masih bisa ia lempar-lempar kecil di udara.

"Fiuh!"

Kuhelakan nafas panjang sambil mengusap kening yang penuh dengan keringat. Terasa matahari semakin terik. Kuperiksa kembali waktu dari jam pasir yang sudah aku keluarkan dari saku celana. Pasir yang ada di dalam gelas kaca ini hampir mendekati 'garis kelima'.

Waduh! Sebentar lagi tiba waktu panen Mandrake! Kebetulan semua tanaman belum disiram. Kalau aku panen Mandrake dulu, aku terpaksa harus mengantarnya duluan ke rumah si Nenek Sihir. Kebetulan rumahnya jauh sekali! Jika belum kusiram hingga mencapai 'garis ketujuh', tanamannya bakal layu!

Aku terdiam sejenak sambil memikirkan solusi yang tepat agar aku bisa segera menyelesaikan pekerjaan utama dalam kebunku, yaitu 'menyiram tanaman'.

Argh! Sudah tidak ada cara yang tepat selain cara 'ini'.

Aku memasukan tanganku ke dalam tas pinggang. Dari dalam tas, kukeluarkan sebuah tongkat dengan ujung kayu yang terlihat menggumpal. Di gumpalan tersebut, terdapat sebuah kristal yang memliki bentuk yang tidak beraturan.

Aku segera berdiri di pinggir kebun. Kuposisikan kaki kiriku agak kedepan. Kuangkat tangan kanan yang memegang tongkat sejajar di depan dada. Lalu, kuletakan telapak tangan kiri dihadapan ujung tongkat yang menggumpal. Sesaat kemudian, kristal yang ada di ujung tongkat bersinar terang, menandakan sihir siap digunakan.

[Harap kamu ingat baik-baik. Jangan salah memposisikan kakimu secara terbalik. Jika kaki kanan di depan kaki kiri, kamu akan mengaktifkan 'sihir pembunuh'. Setelah kamu bersiap dalam posisi 'sihir pendukung', ucapkanlah 'kalimat pujian' yang terdiri dari 'salah satu dari nama Dewi Penjaga, kemudian diikuti dengan 'Nama Elemen' lalu diakhiri dengan 'Aksi' sambil membayangkan sihir tersebut agar sihir yang keluar dapat sesuai dengan yang kamu inginkan.]

"Ra Aminaris, Aquis Winda, Satter!!!"

(Wahai Dewi Pohon Sakura Selatan yang agung, kepada Angin serta Air, Menyebar!!!)

Dari ujung tongkat, tercipta gumpalan air yang cukup besar. Sesaat kemudian, berhembus angin yang meniupkan gumpalan air hingga menyebar keseluruh bagian kebun. Ya, benar-benar seperti yang kubayangkan sambil mengucapkan 'kalimat sihir' tersebut.

"Yosh! Saatnya memanen Mandrake. U-ugh..."

Kuremas kepalaku yang terasa amat pusing. Karena rasa pusing ini, aku kembali teringat akan 'efek samping' dari penggunaan 'sihir'.

'IS' FarmWhere stories live. Discover now