3. Tebing Tak Berujung

Start from the beginning
                                    

Langkah demi langkah Annisa memanjat. Namun semakin tinggi ia merangkak, bibir tebing itu semakin menjauh. Annisa mulai gelisah dan tergesa. Ia percepat gerakannya, pijakan demi pijakan. Namun semakin cepat ia memanjat, semakin cepat pula sahabatnya menjauh.

Perlahan gemuruh mulai terdengar diikuti hujan yang kembali turun dan hari yang kembali gelap. Annisa semakin gelisah, semakin tergesa, bahkan kacau. Matanya mulai berkaca-kaca. Bebatuan yang dijadikan pegangan dan pijakannya kini mulai ditumbuhi lumut yang menyebar dengan sangat cepat.

Annisa terus mempercepat gerakannya, namun upayanya sia-sia. Kini tepi jurang di atasnya tak lagi melambaikan tangan, hanya gelap dan kabut yang bisa ia lihat. Ia berhenti sejenak untuk melihat ke dasar jurang, mungkin dia masih bisa kembali turun, tapi tak ada bedanya. Tebing yang dipanjatnya seakan tak memiliki akar ataupun puncak, tebing tak berujung!

Sesaat ia melihat sekeliling, mencoba opsi yang mungkin bisa ia lakukan, namun hanya kerumunan hujan yang mengelilinginya. Mereka bersorak sorai, diiringi tabuhan genderang petir yang meledak-ledak.

Hanya sekejap mata, kini bebatuan tebing yang ia dekap telah sepenuhnya ditumbuhi lumut. Semakin melapuk dihujam lemparan air hujan, hingga tak ada lagi yang bisa ia pijak. Tapi Annisa tidak menyerah, ia angkat kaki kanannya, mencoba opsi sekecil apapun yang bisa ia upayakan untuk mencapai bibir tebing.

"Krsak!" Kaki kirinya terperosok, melepaskan sebuah kejutan pada denyut jantungnya. Kejutan yang memaksa otaknya hang sepersekian detik, sehingga tidak mampu mengirimkan perintah pada anggota tubuh lainnya. Kedua tangan dan kakinya seketika terlepas dari pelukan dinding tebing tak berujung.

Annisa mencoba berteriak, namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Lidahnya seakan ditarik dari dalam oleh tubuhnya sendiri. hanya batinnya yang mampu meneriakkan perih dan memaksa tangis untuk keluar dari persembunyiannya di balik kelopak mata.

Annisa terus terjatuh, sesekali tubuhnya beradu dengan sesuatu yang entah itu ranting pohon atau bebatuan yang mencoba menangkapnya.

"Gedebruk!" Akhirnya ia sampai ke dasar tebing. Dasar tebing yang ternyata sebuah kasur yang nyaman. Kasur dengan spray berwarna biru dengan corak ombak air laut, kasur yang ia kenal. Perlahan Annisa bangkit hingga posisinya terduduk, berusaha meningkatkan kesadaran, memahami apa yang terjadi pada dirinya. Ia kucek-kucek kedua matanya dan melihat sekeliling. Meski tidak sadar sepenuhnya, tapi sudah cukup untuk mengenali kamar tidurnya sendiri.

Chapter 2 : "Aku Benci Ayah!"

Annisa menghela napas panjang, menundukkan kepala dan membenamkannya kepada kedua telapak tangan, mencoba menenangkan diri. Namun entah kenapa ia seakan lepas kendali atas detak jantungnya, yang seakan melonjak-lonjak ingin mendobrak paksa dinding rusuknya.

Perlahan ia mencoba bangkit dari tempat tidur menuju cermin di sudut kamar dengan langkah yang lunglai. Ia menatap dalam-dalam sosok yang terefleksi dari cermin itu. Sosok yang telah siap dengan setelan rock climbing. Jaket dan celana arcteryx oranye yang dikenakannya masih bersih dan utuh tanpa robekan sedikitpun. Kerudung oranye dengan serut tali belakang, berdesain simpel tanpa motif terpasang memanjang hingga pinggang. Kerudung yang memungkinkannya bergerak bebas dengan tetap memperhatikan aspek syar'i.

Di salah satu sudut cermin terlihat pantulan dua buah benda yang menarik perhatiannya, sebuah ransel dan chalk bag. Dua barang yang telah ia siapkan sejak kemarin malam tanpa sepengetahuan ayahnya. Annisa sudah terbiasa melakukan rock climbing. Namun itu pertama kalinya ia berniat melakukan solo, sendiri, tanpa ditemani siapapun. Annisa menunduk dan kembali air mata membasahi kedua pipinya. Mendaki tebing merupakan hobi yang telah ia lakukan lebih dari tiga tahun, namun kali ini ia melakukannya sendirian, tidak bersama teman sekomunitasnya, tidak bersama siapapun. Tentu ada alasan di balik itu. Ada kepedihan yang membuncah yang ia tak tahu harus berlari ke mana untuk menjauh dari kepedihan itu. Melakukan solo climbing adalah cara pertama yang terlintas di pikirannya untuk melampiaskan semua amarah dan membebaskan diri dari rasa sakit yang menusuk-nusuk hatinya.

Antologi Cerpen: Serdadu KataWhere stories live. Discover now