3. Tebing Tak Berujung

249 9 4
                                    

Tebing Tak Berujung
"a short story by K_Khoir"

.

.

.

Chapter 1 : Tebing tak berujung

Annisa masih mendekap erat tubuhnya sendiri yang menggigil kedinginan di tengah malam yang pekat. Terpaan air hujan mengguyur deras tubuhnya yang semakin lemah kehilangan banyak darah.

Di tengah lemah, kesunyian seakan telah meningkatkan kepekaan setiap inderanya, menjadikan setiap tetes air hujan yang beradu dengan kulitnya terasa seperti hujaman batu yang sengaja dilempar Tuhan dengan murka dari langit. Detak jantungnya yang semakin lemah serta gemeretak grahamnya yang beradu terdengar jelas melewati gendang telinga. Bau amis darah dan genangan air kotor bekerja sama menciptakan aroma lain yang menusuk hidung.

Hanya lidahnya yang kini kering tak mampu lagi merasakan asin linangan air mata, serta kedua penglihatannya yang seperti nenek rabun karena terhalang campuran air mata dan air hujan, sunyi tak mampu mengobatinya.

Wajah putih ovalnya yang manis tampak pucat dan kumuh bermotifkan tanah dan darah, sebagian tertutupi rambut basahnya yang terurai berantakan, karena kerudung panjangnya yang berwarna oranye kini terbelit di pahanya dan hampir sepenuhnya berubah merah oleh darahnya sendiri.

Annisa masih terisak lemah, sesekali meringis menahan perih yang diakibatkan dua dinding lambungnya yang saling bergesekkan menyalakan alarm kelaparan, mengirimkan pesan darurat agar kerongkongannya segera mengirimkan amunisi. Sudah cukup lama pesan itu tidak mendapatkan respon positif karena tubuh Annisa kini merupakan kapal karam yang setengah tenggelam.

Perlahan dia mengangkat tangan kirinya melepaskan dekapan, memberi jalan untuk dingin semakin menusuk tulang barang sekejap, mencoba membantu arlojinya mengejar sudut pandang yang masih bisa dijangkau mata nenek rabunnya, 2:19 am. Hampir 19 jam sudah Annisa tergeletak lemah di antara bebatuan dengan kaki mati rasa. Berlindung di balik jaket dan celana Arcteryx berwarna oranye yang belepotan tanah. Beberapa meter dari posisinya tergeletak, menjulang sebuah tebing bebatuan dengan ketinggian sekitar 150 kaki.

Tak peduli lagi dengan dingin, kini kedua tangannya ia lepaskan dari pelukan tubuhnya. Tangan kanannya bergerak tanpa tujuan, mengenggam lemah tali karmantel yang masih terhubung melalui carabiner dengan hardness yang masih dikenakannya. Tangannya tak tahu dan tak ingin mencari tahu di mana ujung tali itu.

Perlahan tangan lemah itu diangkatnya, dikejar tatapan mata rabunnya menuju sebuah celah di dinding tebing. Seakan tak mau kalah, tangannya tiba-tiba memanjang seperti tangan manusia karet, mengejar pandangan rabun itu yang entah kenapa secara tiba-tiba bisa melihat dengan jelas celah tersebut.

Semakin jelas celah tersebut terlihat diirinngi outro nyanyian hujan yang semakin reda serta bergantinya gelap oleh cahaya. Tangannya terus memanjang, diiringi pergantian malam dan siang yang berlangsung cepat, hingga dalam hitungan detik tangannya berhasil mencapai celah tersebut bersamaan dengan berhentinya hujan dan datangnya siang.

Seakan memiliki kemampuan teleportasi, secara tiba-tiba Annisa sudah berada di dinding tebing dengan pegangan dan pijakan yang kuat. Seketika wajahnya sumringah. Ia kini merasakan sensasi menjadi seorang Alex Honnold, sang penakluk tembok granit 3000 kaki El Capitan tanpa tali.

Ia mendongakkan kepala ke atas menatap bibir tebing yang seakan melambaikan tangan seperti seorang sahabat yang rindu akan perjumpaan. Perlahan ia gerakkan kakinya dengan pasti, memulai solo climbing-nya menuju lambaian sahabat di bibir tebing.

Antologi Cerpen: Serdadu KataWhere stories live. Discover now