2. Ayat Cinta untuk Ayah

Mulai dari awal
                                    

Sabit yang melihatnya menggerutu tak suka dalam hati.

"Minimal bertegur sapa walaupun sebentar. Oh, ya, kamu juga bisa belajar ngaji sama Kak Biya. Kamu kan kurang begitu fasih membaca Alqur'an-nya. Jadi, bisa minta diajari sama Kak Biya. Ayah mau anak-anak Ayah pinter nggak hanya urusan dunia, tapi juga akhirat. Saah satunya, ya fasih dalam membaca Alqur'an. Karena Alqur'an adalah salah satu yang dapat menyafaati kita di akhirat kelak. Kak Biyamu ini dulu pernah juara hafidzah tingkat provinsi loh."

Terus aja terus, banggain anak Ayah.

Sabit berdiri, "Iya, Ayah." Setelah berucap demikian, Sabit meninggalkan meja makan, "Sabit udah kenyang," ucapnya.

Bulan Purnama memang akan selalu lebih bersinar.

♡ ♡ ♡

Detik terus berjalan, jam-jam berlalu dan hari-harinya kini berubah. Sang Ayah seakan lebih dan selalu membanggakan Sabiya.

Sabiya hafidz-lah, Sabiya sudah pakai kerudung-lah, Sabiya ini-lah, Sabiya itu-lah. Sabiya, Sabiya, Sabiya terus. Seakan-akan Sabit tidak ada. Mungkin saja, jika dia dulu yang hilang saat kecelakaan itu, Ayah takkan pernah mencarinya.

Ayah, adakah rindu untukku? Karena jika kau tahu, rinduku sepenuhnya milikmu ....

Dan ... di sinilah Sabit sekarang. Di sebuah pondok pesantren Al-Ilya, pondok pesantren tempat Almira--sahabatnta sejak SD--menuntut ilmu Islam. Mereka memang masih menjaga hubungan baik, saling bercerita, curhat; pokonya segala hal yang masih dilakukan sahabat.

Sabit menceritakan segala keluh kesahnya selama ini. Almira yang selalu berpikir dewasa adalah sosok yang mampu mengimbanginya yang masih labil dan terkesan egois. Dan Almira juga yang mengajaknya untuk belajar di sini. Tak apalah berjauhan dengan ayahnya. Toh tidak akan lama. Ia janji, ia akan belajar dengan sungguh-sungguh. Ia akan buktikan pada ayahnya, dia, Sabita Anugrah ... akan selalu menjadi anak kebanggaan ayahnya

Sabit akan tetap menjadi yang terindah kala malam menyelimuti, kala kabut hitam menyembunyikan bintang, dia akan menjadi yang paling terang, untuk Ayah. Tentunya. Selamanya.

Namun, kalian tahu ... itu semua tak mudah. Huruf-huruf yang begitu susah untuk dilafalkan, tajwid yang begitu rumit, belum lagi nafasnya yang pendek-pendek. Dan lagi, Ustadzah Hanah yang selalu memarahi. Lebih tepatnya, menegurnya karena selalu dan berkali-kali salah melafalkan beberapa huruf hijaiyah ketika membaca Alqur'an.

"Ini itu huruf 'kho', 'kho'! Bukan 'ho', bukan 'ko'. Bacanya di ujung tenggorokan, di sini," jelas Ustadzah Hanah sambil menunjuk pangkal tenggorokan.

Sabit hanya mengangguk.

"Jangan cuma ngangguk-ngangguk, tapi perhatikan dengan teliti, lalu diamalkan. Belajar ngaji itu yang sungguh-sungguh. Anak sekarang ... lagu ini hapal, lagu itu hapal. Giliran disuruh nyebutin huruf 'kho' aja susahnya minta ampun." Ustadzah Hanah adalah salah satu ustadzah killer di pesantren tersebut. Tak ayal, santriyah-santriyah yang didiknya pasti selalu menjadi yang terbaik saat melantunlan tilawah Alqur'an. Ustadzah Hanah selalu mengedepankan bacaan yang tartil daripada kemerduan suara. Untuk apa suara merdu jika tilawahnya asal-asalan? Begitu katanya.

Yah, inilah Alqur'an. Gampang-gampang susah. Salah baca sedikit saja, maka maknanya akan beda arti. Namun, Alqur'an adalah bacaan terindah sepanjang masa.

Dan saat ini, Sabit hanya mampu tertunduk dan menjawab dengan lirih, "Baik, Ustadzah."

Tidak hanya sekali dua kali dia mendapat teguran dari Ustadzah Hanah, tapi hampir setiap hari. Belum lagi teman-teman yang menatap sinis ke arahnya. Seakan-akan dia makhluk paling menjijikan. Kenapa? Mungkin karena ... dia yang kini usianya telah menginjak angka 16 membaca huruf 'kho' saja tidak bisa. Belum qof, 'ain, dan masih banyak lainnya.

Antologi Cerpen: Serdadu KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang