3 : don't go

431 63 26
                                    

Revilo duduk di kursi panas alias kursi yang terdapat di ruang BK (Bimbingan Konseling). Revilo sudah menjadi pelanggan setia, keluar-masuk ruang BK. Bahkan, guru BK itu sendiri sudah bosan melihat Revilo di hadapannya, memberikan konseling yang tak berfaedah bagi muridnya itu karena sudah dijamin Revilo akan melakukan hal lainnya.

Guru BK, yakni Pak Jarwo berdiri ketika melihat Ayah Revilo--Revano yang memasuki ruangan tersebut. Sama dengan halnya Pak Jarwo, Revano bosan mengunjungi sekolah hanya untuk bertemu dengan guru konseling.

"Selamat siang, Pak Reva--," sambut Pak Jarwo terpotong. "Langsung ke inti poinnya saja, Pak. Saya harus segera pergi bekerja kembali."

Pak Jarwo merasa tertegun kemudian menggaruk tengkuknya. "Anak Bapak, Revilo, terciduk merokok di kamar mandi sekolah, Pak." ujar guru tersebut. "Maka dari itu, saya menyampaikan kepada Bapak, bahwa Revilo dikenakan sanksi skors selama satu minggu."

Revano menyimak ucapan Pak Jarwo dengan saksama, seraya sekali-kali melirik ke arah anak laki-lakinya itu dengan tatapan tak percaya dan juga kecewa.

Pak Jarwo menyodorkan sebuah amplop yang tentu berisi surat skorsing tersebut sambil berkata, "Kami mohon, Bapak dapat membimbing Revilo selama belajar di rumah."

Revilo memotong, "Percuma. Papa saya tidak akan mengurus saya, Pak."

Mendengar ucapan itu, Revano langsung menoleh ke Revilo. "Revilo!" bentaknya. Revilo tak menggubris perkataan Ayahnya itu. "Makasih, Pak. Berkat bapak, saya senang bisa liburan satu minggu." Kata Revilo kemudian beranjak dari kursi panas tersebut dan keluar dari ruangan tersebut.

Revano berpamitan dengan Pak Jarwo, kemudian menyusul Revilo yang sudah berjalan cukup jauh. Dari kejauhan itu ia memandang punggung Revilo, "Olivia, aku benar-benar membutuhkanmu." gumam Revano yang merasa gagal menjadi Ayah karena tak bisa mendidik anak laki-lakinya itu dengan baik.

•••

Perjalanan menuju pulang ke rumah sangatlah hening. Revilo dan Revano hanya terdiam selama perjalanan. Selama cukup lama berdiam diri satu dengan yang lain, akhirnya sang Ayah memecahkan keheningan di antara mereka, "Kamu merokok?" tanya sang Ayah.

"Gak tau," jawabnya ketus sambil memandang ke luar jendela.

Revano merasa geram. "Papa tanya sama kamu."

Revilo kini menatap tajam Revano. "Papa? Anda tidak patut menganggap diri Anda seorang Papa." Revano kehabisan kata-kata mendengar ucapan Revilo itu, hatinya hancur berkeping-keping. "Revilo!---" bentak sang Ayah bahkan tak sanggup melanjutkan kata-katanya.

Revilo tidak memedulikan perkataan Revano bahkan ia seakan-akan menganggap Ayahnya itu tidak berada di dekatnya. Bahkan, sang sopir yang sedang mengantarkan mereka pulang ke rumah merasakan ketegangan itu.

Sesampainnya mobil tersebut di depan rumah, Revilo langsung pergi beranjak dari mobil yang menurut dirinya sangatlah sumpek. Revano hanya memandang kepergian anak itu yang memasuki rumah.

"Kembali ke kantor, Pak," ujar Revano kepada sang sopir. Sopir tersebut segera membawa keluar mobil itu dari rumah. Selama perjalanan Revano hanya memikirkan anak laki-lakinya itu, tanpa ia rencanakan, setetes air mata meluncur mulus di pipinya. Ia segera mengusapnya cepat, "Olivia, kamu dimana?"

•••

Oliver mengendong tas ranselnya, ia berjalan menuju ke ruang TU. Sementara murid-murid di kelasnya menatap kepergian Oliver, menduga-duga apa yang terjadi. Jantung Oliver pun berdetak sangat cepat, ia takut jika ada sesuatu yang terjadi.

Sesampainya Oliver di ruang TU, seorang guru yang memang bertugas sebagai TU berkata kepada Oliver. "Barusan saja, Nenek kamu telepon sekolah." kata-katanya terhenti.

Oliver mengerutkan dahinya, mendengarkan dengan penuh konsentrasi. "Katanya... Mama kamu sedang kritis di Rumah Sakit." Seketika itu juga, hati Oliver mencelos mendengar kabar itu. Ia merasa dunianya sedang menuju ke jurang yang dalam. Napas Oliver pun langsung tak karu-karuan karena dadanya terasa sesak.

Berusaha untuk menenangkan, guru tersebut mengelus-elus pundak Oliver. "Nenek kamu minta kamu untuk menjenguk Mama kamu di Rumah Sakit." Oliver mengangguk sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Oliver segera menaiki motornya, ia menyetir dengan kecepatan tinggi. Ia pikirkan saat ini hanyalah Ibunya--Olivia. Matanya sudah berkaca-kaca, sekali-kali ia mengusap tetesan air mata yang mengalir di pipinya supaya penglihatannya tidak terganggu ketika menyetir. Ia memanjatkan ribuan doa kepada Mamanya itu, supaya diberikan kekuatan untuk bertahan hidup karena Oliver belum sanggung dan tak sanggup untuk kehilangan Mamanya saat ini.

Sesampainya di pelataran Rumah Sakit, dengan hati yang berdetak kencang ia berlari menghampiri meja resepsionis. "Mbak, Olivia.. Olivia Letisya," ujarnya gemetar. Setelah sang suster yang bertugas memberikan petunjuk, Oliver langsung berlari mencari keberadaan Olivia.

Dengan perasaan yang tak pasti, ia terus berlari berharap ia dapat segera melihat Ibunya sebelum semuanya terlambat. Ketika melihat Helen--Neneknya dari kejauhan. Oliver mempercepat kecepatan larinya seakan tak merasa lelah. Dengan napas yang tak beraturan ia bertanya, "Oma, Mama. Mama."

"Mama kamu lagi kritis, sekarang sedang diperiksa dokter," ujar Helen dengan pelan. Oliver pun memeluk Neneknya dengan erat, mereka berdua berharap Olivia tetap bisa hidup bersama.

Hari menjelang malam, Oliver masih menunggu kabar dari Dokter. Ia menoleh kesebelahnya, Helen sedang tertidur pulas mungkin karena lelah. Sementara Oliver masih terjaga, ia harus segera menengok keadaan Mamanya secepat mungkin.

Datanglah seorang perempuan dengan jas dokternya, diiringi oleh seorang suster menghampiri Oliver. Anak laki-laki itu pun membangunkan neneknya pelan agar tidak merasa kaget. Mereka berdua pun langsung berdiri supaya dapat menyimak perkataan Dokter tersebut dengan jelas.

Sang Dokter tersenyum lebar kepada Oliver dan Neneknya, "Oliver?"

Oliver kebingungan karena dokter tersebut dapat mengetahui namanya. Sang Dokter yang tahu Oliver bingung langsung menjelaskan, "Mama kamu sering cerita tentang kamu."

Dokter tersebut memberikan tangannya untuk berkenalan. "Nama saya Finna."

"Oliver."

"Finna."

"Helen."

Finna berdeham kemudian melihat ke kertas-kertas yang sedang ia pegang, "Setelah melakukan beberapa pemeriksaan. Olivia... Mama kamu," Finna menatap ke arah Oliver, "sudah mencapai leukimia stadium akhir."

Oma Helen sudah tidak dapat membendung air matanya lagi, seketika itu isak tangis memenuhi rumah sakit itu. Oliver juga merasakan hal yang sama, tapi ia mencoba semaksimal mungkin untuk tidak menangis untuk dapat terlihat tegar di hadapan neneknya karena jika ia merasa sedih saat ini siapa yang akan menguatkan neneknya sendiri. Mereka berdua merasa terguncang dengan kabar tersebut. Oliver merangkul pundak neneknya itu dengan halus.

"Saya tahu, memang ini adalah sesuatu yang mengejutkan. Terlebih lagi, Olivia memang tidak mau anaknya mengetahui hal ini," ujar sang Dokter. "Kami juga berharap dan berdoa yang terbaik bagi Olivia."

"Tim dokter rumah sakit ini juga akan memberikan kemampuan kami yang terbaik,"

Oliver mengangguk, "Terima kasih, Dokter."

Dokter Finna pun meninggalkan Oliver dan neneknya itu.

•••

Oliver membuka dompetnya, ia mengeluarkan foto Ibunya. "Ma, please don't go."

____

17 Feb 2018

Je hebt het einde van de gepubliceerde delen bereikt.

⏰ Laatst bijgewerkt: Feb 17, 2018 ⏰

Voeg dit verhaal toe aan je bibliotheek om op de hoogte gebracht te worden van nieuwe delen!

Revilo OliverWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu