[13] Kekecewaan Mendalam

31.7K 2.1K 145
                                    

Selasa, 13 Mei 2014--13:05
A/N: ada yg bosen gak gue apdet sering kayak gini? wkwk. mumpung ada ide. takut nguap. yauda moga gak mengecewakan ya mwah :*
QOTD: apa yg kalian suka & gak suka dr cerita ini?
==========

“Mau ngomong apa, Ru?” tanya Lica begitu mereka sampai di apartemen.

Runako menarik bangku di meja makan dan mengisyaratkan Lica untuk duduk di hadapannya. Gadis itu hanya menghela napas kemudian menuruti kemauan Runako.

“Menurutmu Duff itu orangnya gimana?” tanya Runako, membuka pembicaraan.

Lica tegang. Dia tau suatu saat nanti Runako akan mengetahuinya. Runako akan meminta penjelasan. Lica menghela napas pelan. Sia-sia saja menghindari suatu hal, karna pada akhirnya, kenyataan itu akan menyandungmu lagi, meminta pertanggung jawaban. Dalam kasusnya saat ini adalah, berhubungan dengan Iblis.

“Kenapa kamu nanyanya gitu? Tentu aja Duff itu licik, dia ‘kan Iblis,” sahut Lica, membuang muka dari Runako.

Pria itu menghela napasnya berat.

“Aku perjelas, bagaimana sikap Duff terlepas dari jati diri dia sebenarnya.”

Gadis yang saat ini hanya bisa menunduk sembari memainkan jemari kini meneguk ludahnya sendiri. Pahit. Dia bahkan tak tau harus berkata apa. Kalau dia jawab sejujurnya, apa Malaikat Penjaga ini akan berpihak padanya?

“Kejujuran itu diatas segalanya, tapi,” suara Runako membuat Lica mengangkat wajah. “Aku gak akan maksa kalo kamu gamau jawab.”

Lica kembali menghela napas. Tangannya terkepal, mengumpulkan serpihan keberanian yang dikubur dalam di hatinya. Dia menegakkan punggung kemudian menatap Runako lekat. “Dia baik, gak kayak Iblis lain dengan hati jahat. Aku bahkan ragu kalau dia itu Iblis. Hatinya ... seperti Malaikat.”

Ini pertama kalinya Lica mengucapkan suatu hal tentang Duff yang tidak bertentangan dengan hatinya. Kini dia merasa lega, beban dihatinya terangkat meskipun hanya secuil—seujung kuku jarinya.

Runako menatap Lica lekat, membaca segala pergerakan dan kedalaman mata gadis itu dengan cermat. Dia sadar, Lica telah jatuh cinta pada Iblis ini. Lalu, apa yang harus dilakukannya? Melarangnya?

“Apa yang aku sering bilang sebelum kamu memulai tugas di Human World?” Runako bertopang dagu, seakan tak mau kehilangan ekspresi gadis itu.

“Jaga hati. Jangan terbuai oleh rayuan Iblis. Jangan jatuh cinta pada manusia,” Lica mengambil napas dalam, terasa sesak, “jangan jatuh cinta selain pada Malaikat ...”

Runako mengusap wajahnya dengan kasar, menyembunyikan kekecewaan mendalam. Ketika gadis itu menatap Runako ragu, pria itu berkata, “lalu, apa yang harus kamu lakukan jika terjatuh padanya?”

“Aku harus sadar diri,” dia menggigit bibirnya, “karna kami diciptakan tidak untuk bersama.”

Mata Lica kini terasa panas. Oh, ayolah, siapa yang ingin cinta pertamanya kandas di awal perjalanan? Siapa yang ingin cintanya harus dipadamkan ketika sang pujaan hati sudah banyak berkorban untuk memperjuangkan kisah mereka?

Runako tak kuat melihat Lica yang menahan tangis seperti itu. Hatinya terasa tertusuk ribuan jarum panas, dia seperti melihat Crystal kala itu.

Ketika gadis yang dicintainya harus mematikan rasa. Membuang perasaan itu jauh-jauh. Meskipun Crystal selalu berkata “Aku sudah melupakannya” namun menurut Runako, gadis itu tak pernah melupakan Clarion barang sedetikpun.

Malaikat dan Iblis tak pernah jatuh untuk kedua kalinya. Hanya sekali. Cinta pertama, untuk yang terakhir.

“Lica,” Runako menarik tangan Lica, menggenggamnya dengan erat.

FL • 1 [Fericire]Where stories live. Discover now