[07] Melindungi Dia

39.5K 2.4K 123
                                    

“Gue pengen bebas mencintai siapapun,” ujar Duff serak, “gue gak pengen perbedaan menjadi alasan seseorang untuk tidak bisa bersama.”

Tanpa sadar bulir air mata itu terjatuh dari mata Lica yang bening. Dia menangis dalam diam, memeluk lututnya dengan bahu bergetar. Hujan yang jatuh membasahi bumi seakan menjadi saksi sepasang Malaikat dan Iblis yang mulai sadar akan perbedaan yang membatasi mereka, akan cinta yang tak bisa mereka gapai.

“Lica?” panggil Duff. “Gue tau lo disana.”

Duff bangkit, telapak tangannya terjulur demi menyentuh kaca bening yang memisakan mereka. Duff sadar sepenuhnya jika Lica duduk dibalik kaca ini, mendengarkan semua perkataannya. Duff menutup matanya sekilas, mencoba fokus dengan suara isakan samar yang keluar dari bibir Lica. Ketika yakin gadis itu menangis, Duff menghela napas dengan panjang.

Say something, Lica,” bisik Duff, tetapi terdengar jelas oleh Lica. “Bilang kalo lo setuju dengan perkataan gue.”

Lica terdiam, namun Duff kembali melanjutkan perkataannya. “Apa lo percaya, cinta bisa mengalahkan perbedaan itu? Apa lo percaya, cinta merupakan kekuatan terbesar yang dimiliki manusia? Apa lo tau kalo perbedaan itu sebenarnya gak bisa terpisahkan?”

Duff menarik napas dalam. “Apa lo ... percaya sama gue?”

Deg. Lica membeku. Percaya? Tak pernah sedikitpun terlintas di pikirannya untuk percaya pada Iblis. Namun apa yang terjadi sekarang? Kepala Lica mengangguk menanggapi pertanyaan Duff. Apa yang dilakukannya? Astaga.

“Oke kalo gamau jawab, gapapa kok,” jeda Duff seraya memutar telunjuknya dengan ringan agar pintu kaca Lica terbuka dengan perlahan tanpa disadari gadis itu. “Yang penting gue bisa ketemu lo sekarang.”

“Kangen tau,” tambah Duff.

Jantung Lica kembali berdetak lebih cepat, gadis itu bahkan menahan napas. Perlahan tapi pasti dia mengusap air matanya dan segera bangkit. Baru saja ia melayang untuk pergi meninggalkan ruangan, suara derak pintu kaca membuat gadis itu tersentak. Duff berdiri di ujung pintu dengan tegap, menatap Lica lurus-lurus.

“Lica,” panggil Duff lagi. “Gue berantem sama Clarion.”

Lica mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu berdehem. “Trus apa urusannya sama gue?”

Duff menghela napas, lalu menggeleng frustrasi mendengarkan balasan Lica. Padahal alasan dibalik pertengkaran itu adalah Lica. Tapi kenapa dia sama sekali tak peduli? Duff melayang, bergerak masuk apartemen Lica diikuti tatapan tajam gadis itu.

“Gak sopan ya,” jeda Lica seraya memegang wajahnya—memeriksa jejak airmata, “masuk rumah orang tanpa izin.”

Ting tong. Lica, lo di dalem? Iya, gue di dalem. Gue masuk ya? Iya, masuk aja,” sahut Duff bertubi-tubi, dia duduk bersandar pada sofa dan memeluk bantal berbentuk sayap yang besar.

“Gue ngantuk,” ujar Duff.

Lica memutar matanya dengan agak kesal. Tangannya menunjuk keluar, dimana cuaca benar-benar dalam keadaan buruk. Hujan angin beserta petir yang menyambar.

“Keluar, se-ka-rang,” kata Lica tegas.

“Lo gak kasian kalo nanti gue keujanan?” Duff melirik langit yang masih hujan deras, bibirnya melengkung ke bawah, meminta belas kasihan pada Lica.

“Gak peduli,” balas Lica sambil bersidekap.

Duff mengerling jahil, cengiran lebar tampak di wajahnya. “Gue tau lo peduli.”

Wajah Lica seketika merah padam, dia menunduk, merutuki dirinya sendiri yang sempat salah tingkah karna khawatir jika Duff akan kehujanan di luar. Setelah beberapa saat menggigiti bibir bawah, Lica mengangkat wajahnya dan beranjak dari ruang keluarga menuju dapur.

FL • 1 [Fericire]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang