"Om mau ngomong sama kamu, tapi kamu yang tenang ya?" kata Fandy waktu itu. Aluna menatapnya heran.

"Kenapa, Om?"

"Mamimu sakit."

"Sakit lamb—" ucapannya dipotong oleh Fandy.

"Tumor payudara, tumor ganas, mamimu nggak mau dioperasi. Katanya takut."

Tubuh Aluna mendadak kaku, ia melihat Fandy tak percaya, mereka ada di depan ruang inap maminya, sejenak setelah Rajendra menjemputnya di bandara, sepupunya itu membawa dirinya ke rumah sakit, menjelaskan kalau Alisa sedang sakit.

"Om nggak usah becanda!"

"Om nggak akan bercanda untuk alasan sepenting ini, Aluna."

"Ta—tapi bagaimana bisa, Om?"

"Genetik, nenek buyutmu dulu punya riwayat penyakit ini. Sebenarnya mamimu pernah operasi tumor payudara jinak sewaktu remaja, dan memang potensi menjadi ganas akan ada beberapa tahun setelahnya, sampai akhirnya mamimu didiagnosis menderita tumor payudara ganas. Selain keadaan fisik, semua jenis penyakit akan berkembang dengan cepat kalau keadaan psikisnya juga buruk, Al."

Lidah Aluna mendadak kelu, tubuhnya terguncang karena tangisan, ia menutup wajahnya yang mendadak memerah karena tangis, Om Fandy memeluknya, menyalurkan kasih sayang seorang ayah yang memang jarang didapat oleh Aluna. Siapa pun yang melihatnya saat ini pasti paham, kesedihan macam apa yang tengah dirasakan oleh gadis itu.

Aluna mengeyahkan ingatannya tadi, ia melihat jam di ponselnya. Pukul satu dini hari, ia masih terjaga, maminya baru saja tidur dua jam yang lalu, menyisakan dirinya yang masih sibuk dengan segala kecamuk di kepala. Ruang inap maminya ini menjadi tempatnya tidur beberapa hari ini, ia tak peduli walau harus tidur di atas kasur lantai yang dibawakan Om Fandy dari rumah, atau berteman dengan bau obat-obatan yang setiap hari mengganggunya, kesehatan mami jauh lebih penting.

Menghela napasnya, Aluna memutuskan untuk keluar dari kamar maminya. Ada Rajendra yang duduk di atas bangku, tepat di depan ruang inap maminya, Rajendra memang menemaninya menjaga mami malam ini, namun laki-laki itu tadi pamit ingin ke kantin untuk membeli kopi. Sejujurnya, Aluna merasa sungkan jika haru terus-terusan merepotkan keluarga omnya.

"Mbak Aluna nggak tidur?"

Aluna menggeleng, ia melipat kedua tangannya di depan dada. Memejamkan matanya sejenak.

"Sepertinya Tuhan terlalu sayang sama mami, ya Ndra? Sampai ngasih mami cobaan kayak gini?"

"Mbak..."

"Aku seperti anak nggak berguna, nggak tahu apa-apa tentang mami, kamu kenapa nggak ngasih tahu sih, Ndra? Kalau mami sakit parah kayak gini?"

Aluna membuka matanya, ia lihat wajah Rajendra yang sudah diliputi perasaan bersalah.

"Tante nggak mau Mbak tahu dan bikin mbak kepikiran, mbak harus fokus kuliah di sana."

Aluna mendengus, pandangan matanya menerawang. Rajendra yang ada di sebelahnya tak berucap apa-apa lagi, sepupunya itu tahu, Aluna butuh ketenangan.

"Aku udah mutusin..."

Aluna tak melanjutkan kalimatnya, ia lihat Rajendra yang menunggu ucapannya.

"Aku udah mutusin buat pindah kuliah."

"Mbakk!"

"Aku akan pindah kuliah di Surabaya, Ndra. Kamu tahu? Mami itu satu-satunya yang paling penting buatku, apa pun akan kuturkankan untuk hidup mami, aku masih bisa kuliah di sini. Aku bisa kehilangan apa pun, apa pun selain mami."

So I Love My ExWhere stories live. Discover now