2. Kura-Kura Ninja

36.5K 3.2K 45
                                    

"Baper?" Rein menatapku geli ketika mendengarkan teriakan riangku yang sedang menonton drama korea. Ya, kadang-kadang jika aku stay di kantor sudah lewat dari jam 5 sore, akhirnya aku memilih matiin waktu di kantor daripada mati berdongkol ria di kemacetan Jakarta. Streaming pakai wifi kantor, nonton pria tampan penuh gaya dengan kemachoan-nya, mayaan.

Aku menatapnya dan mengangguk ngenes. Bawaannya kalau menonton drama korea itu serasa kek fairy tale. Gemes gemes nyesek, namun nggak sesesak nonton drama sejenis di Indonesia yang bawaannya kesel karena si pemeran utamanya nelangsa banget karena sok baik atau antagonisnya yang hobi melotot dengan kepala muter-muter sambil ngomong panjang lebar pakai suara dubbing, fyuuh.

Rein sudah paham banget kalau aku itu cewek receh yang gampang baper kalau ketemu cowok yang ganteng dikit, yang sekel dikit, yang pintar dikit, yang putih dikit apalagi yang ngasih duit. Thumbs up! Dia yang kadang-kadang jadi temen gosip karena di kantorku minim cewek, temen ngegym bareng dimana aku akan melototin siapa tau ada jodoh yang datang atau teman kerja yang bawaannya tu anak panikan mulu.

Kenapa aku nggak sama Rein aja? Kalau-kalau ada yang nanya. Meski dia adalah temen cowok yang nggak bisa diharapkan (beneran deh tu orang, kalau paniknya kumat, udah deh hati, mata, kaki tertutup semua), dia adalah pria beranak satu dengan istri yang mungkin khilaf waktu nerima lamarannya. Pria yang kadang lupa dengan kodratnya yang sudah di atas 35-an dan selalu insist kalau dia masih berumur 27-an. Tapi dia teman yang cukup menjaga hari-hariku karena dengan resistensi penolakan umurnya yang tua, dia jadi bahan bulian sekantor yang tetap menjaga kewarasan orang-orang ketika deadline kerja sudah nggak karu-karuan.

"Kenapa sih lu nggak nyari cowok, Pril? Hiduplu nelangsa banget?" Rein menekankan pada kalimat terakhir. "Umur lu udah jauuuh banget tua dari gue, tapi masih aja nonton drama korea."

Kulempar tisu yang habis kujadikan alas cake gretong dari sekretaris kantor yang temenan sama artis yang lagi latah buat toko kue. "Yeee, lu itu lebih tua kalee dari gue. Suka lupa kodrat deh lu ya kadang-kadang."

"Jadi gimana? Lu nggak mau usaha gitu?" antena ghibahnya pria ini udah mulai naik.

"Omonganlu udah kayak emak gue, cowok bukan?" aku kembali menekan tombol reply pada smart phone gegara konsentrasi baper diganggu. "Semua gara-gara gue temenan ama lu kayaknya, jadinya gue kena kutukan pria lupa kodrat. Sengajaa gue pindah kerja ke tempat dengan jumlah populasi cowok yang tinggi, ya kenapaa yaa gue ketemunya kalau nggak sama bapak-bapak yang pastinya sudah tua, pria muda beristri atau anak muda masih bau iler."

"Lu ketinggian kali buat standar cowok idamanlu?" Rein mengeruk kacang di toples yang ditaruh di meja kerjaku. Prinsip kantor, ngambil hape itu haram hukumnya, ambil bolpoin atau gorengan atau apapun makanan di meja kerja orang, halal-halal aja. "Kebanyakan nonton drama korea, bisa rusak otaklu. Di purging ampe lupa daratan. Cowok make-up an mana ada Pril, di dunia kejam ini."

"Namanya juga standar. Kalau gue buat standar rendah, ntar hati gue nggak lepas. Masak gue mandangin wajah tu orang seumur hidup? Innalillaah," aku lagi-lagi harus nge-pause, reply, nge-pause. "Lu kenapa nggak pulang aja sih? Gue mau nonton."

"Bos gue ngasih kerjaan dadakan. Siapa tau lu mau bantuin gue," Rein menaik-naikkan alisnya. Berharap hatiku luluh.

"Kirain lagi lowong, ngebahas masalah jodoh gue segala."

"Ya, namanya juga foreplay. Basa basi busuk dulu ama lu, mana tau lu dapat ilham bantuin gue."

"Ogah, kerjaanlu suka nggak masuk akal."

"Apaan? Kerjaan gue sih make sense semua. Yang ngasih yang suka nggak make sense, timelinenya cuma bisa untuk momen gue bengong bayangin ni kerjaan."

Aku tertawa ngakak. Hobinya ni orang emang ghibahin bosnya. Bukan karena apa-apa, tetapi lebih ke mission impossible yang muncul pada detik-detik kebahagian pulang tenggo dan semua rencana buyar hanya dengan sebuah perintah. Bisa dikerjakan? Bisa, tapi butuh waktu dan nggak sehari juga kalii.

"Sekarang lu diminta nggapain lagi sih?" aku menghentikan streaming drama korea dan menatapnya. Kepo.

"Gue diminta ngitung berapa perkiraan biaya investasi kilang harus ditawarkan ke Pemerintah dan konfigurasi seperti apa yang sebaiknya dibuat pada proses kilang tersebut sehingga dapat menghasilkan bahan bakar yang mahal semakin banyak." Rein kembali ke mejanya dan mengambil kartu ID kantor.

"Lah, kan lu lulusan Teknik. Masa nggak bisa ngerjain itu?" Pelan-pelan, aku kumpulkan semua barang-barangku dan kumasukkan ke dalam tas ransel coklat tanah yang ku tempatkan di bawah meja kerja. Melihat jenis tugasnya yang nggak masuk di akal saat otak sedang malas-malasnya mikir, lebih baik aku segera pulang dan leye-leye di rumah daripada dipaksa untuk mikir bareng atas nama persahabatan.

"Bisa sih, tapi beliau mintanya besok pagi, 7 teng! Gimana nasib anak gue kalau gue harus kerja lembur gini."

Berbekal tas kerja versi kura-kura ninja, kuputuskan sholat magrib di mesjid kantor saja, berlari ke pintu kaca dan men-scan ID card di sana, daripada mendengarkan curhatan pria ini tentang tak masuk akalnya tugasnya, sempitnya waktu kerja, anak dan istrinya yang menanti di rumah, ketidak jelasan sistem di Indonesia dan hal-hal lain yang mengisahkan betapa kejamnya dunia,

"April! Lu nggak jadi nemenin gue?"

"Grown up, boy! Masak udah tua minta ditemenin. Bye!!"

"April, tas lu nggak ada manis-manisnya! Wake up girl, udah tua masih ranselan aja. Mana ada pria yang akan jatuh dari pesona di ransel lu?"

KAMPR*T!!

tbc

8/11/2017




Bear Hug (Re-published)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang