Part 7

16.8K 1.5K 308
                                    

"Di antara warna pelangi

Йой! Нажаль, це зображення не відповідає нашим правилам. Щоб продовжити публікацію, будь ласка, видаліть його або завантажте інше.

"Di antara warna pelangi. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu." Kupegangi ponsel ke dekat telinga sembari bersandar pada dek kapal. "Warna mana yang kau sukai?"

Penuh minat, aku mengamati keindahan alam yang ditawarkan. Pemandangan langit bertemu laut. Kicauan burung yang berpadu dengan suara angin yang mengirimkan bau lautan.

Bahkan dalam keindahan itu—bisa kulihat pelangi di antaranya.

"Biru," jawabnya dari seberang telepon.

Sangat pas. Aku tersenyum senang. "Biru adalah salah satu warna yang paling menenangkan dan memberikan kesan damai. Cobalah cat kamarmu dengan warna biru."

Dia tertawa singkat. Suaranya begitu lembut. "Kurasa tak perlu sampai mengecat kamar, matamu dan mata Gwen sudah cukup selalu menenangkanku."

"Menggelikan." Aku ikut tertawa. "Apakah kau tahu? Biru pun warna yang melambangkan pengabdian, kebijaksanaan, kesetiaan, dan kepercayaan. Benar-benar sangat dirimu. Tapi jika kehidupanmu terlalu banyak warna biru, itu akan membuatmu sangat kaku layaknya Braden."

Tawa bibi Clara semakin membahana. "Seharusnya, kau membicarakan itu di depan mereka."

"Aku akan melakukannya nanti," jawabku ceria.

Seorang wanita paruh baya yang bernama lengkap Clara Hills adalah—bagaimana aku harus menjelaskannya? Menurut orang-orang, dia seperti ibu asuh atau ibu angkatku. Namun, kenyataannya tidak benar-benar seperti itu.

Bibi Clara lebih dari sekadar apa kata mereka bahkan peranannya lebih berarti dibandingkan seorang ibu sesungguhnya dalam kehidupanku.

Bagaimana tidak, bibi  Clara sudah merawatku sejak dulu. Yang selalu berada di sisiku di kala ibuku entah berada di mana. Yang selalu ada untukku di kala Gwen terlampau sibuk.

Dia pun satu-satunya orang yang menemani saat aku berjuang dalam masa pengobatan di Jerman. Setelah dinyatakan sembuh, barulah bibi Clara kembali ke Vegas sementara diriku melanjutkan pendidikan di sana.

Kami sempat berbasa-basi sebentar, lalu aku pun memberitahunya tentang perubahan jadwal kepulangan. Membuat bibi Clara bertanya penuh kekhawatiran. "Apa yang terjadi? Kenapa mengundurnya?"

Aku menjawab ringan, seringan perasaanku yang beterbangan diterpa angin laut. "Mendadak ada tempat yang harus dikunjungi sebelum kembali ke New York."

Cukup sering dirinya mengerti akan diriku tanpa banyak bertanya. "Jika begitu, nikmatilah perjalananmu. Akan kuberitahu Gwen dan Ema."

Scheisse. Ada yang berdenyut dalam dadaku tiap kali mendengar namanya.

Pikiranku menerawang entah kemana tanpa diinginkan. Mengingat setiap kejadian yang telah kulewati dalam beberapa tahun terakhir.

Inilah yang terjadi. Sangat jarang aku berkomunikasi dengan mereka. Entah Gwen maupun Ema—ingat, Ema. Bukan Emma. Bahkan ketika diriku masih berada di rumah sakit, hanya ada bibi Clara yang memperhatikanku dengan sepenuh jiwa dan raganya.

Michael Wolfey - The Only First [On Going]Where stories live. Discover now