P1. Kematian Seekor Kucing

420 42 6
                                    

Sebagian orang bilang kematian adalah awal. Sebagian yang lain mengatakan, kematian adalah akhir. Keduanya sama-sama tak terhindarkan, terdefinisi oleh pedang tak kenal ampun bernama takdir dan tak tersentuh kehendak manusia.

Entah mana yang benar, aku sendiri tidak tahu sampai detik ini.

Satu-satunya yang aku tahu, ketika seseorang mati, kau harus menguburnya. Seperti yang dilakukan Elma pada Nike hari ini.

Kucing belang tiga peranakan kampung itu konon sudah bersama anak-anak Panti Asuhan At-Tulab selama bertahun-tahun. Jauh lebih panjang dari yang bisa diharapkan bahkan dari para manusia yang bisa berumur puluhan tahun. Makhluk kecil ini telah menemani anak-anak panti melalui ratusan terjangan peluru, rudal, dan artileri, melewati serangan malam maupun fajar yang tak kenal henti maupun kenal ampun. Bertahan hidup lebih baik dari sebagian anak, sambil menemani mereka dalam berbagai keadaan, suka maupun duka.

Sayang sekali aku hanya bertemu kucing ini lima kali. Jika lebih sering ada di panti, mungkin akan ada semacam ... ikatan batin terbentuk antara aku dan dia.

Di sekelilingku berbagai kecamuk emosi bermunculan: kebanyakan tangisan. Semua anak merasa kehilangan, apalagi mereka yang sudah lama ada di panti ini. Tapi beberapa anak yang lebih tua mencoba untuk menguatkan yang lain. Idris terus tersenyum menghibur Isya, Elias menghibur lima anak lain di sekelilingnya, sementara Elma, meski memeluk dua anak balita, mata tajam Elma tidak lepas dari Mischa yang duduk diam di depan makam.

Benar, hanya diam.

Tidak ada air mata, tidak ada sikap menunduk yang menunjukkan duka.

Tidak ada sama sekali.

Dan gadis muda itu menunjukkannya tanpa takut ataupun malu.

Sama sekali tidak ragu menunjukkan identitasnya sebagai Maha di antara para Manusia.

Di tengah tangis, Mischa bersikukuh memasang wajah datar tanpa simpati, pantulan jernih dari wajahku sendiri. Dalam diam, dia terang-terangan tidak menyukai situasi ini.

Beruntunglah kakek Ilyas sudah memperingati Elma buka suara terkait opini pribadinya. Jadi di bawah pohon kurma terdekat dari panti, kami memakamkan Nike. Pohon itu sudah tua dan tidak lagi berbuah selama tiga tahun. Daun-daunnya berguguran lima helai di setiap bulan dan kini hanya tersisa lima pelepah di puncak pohon, tapi ini satu-satunya tempat teduh dengan sedikit pasir yang ada di belakang panti, tempat yang paling mudah digali.

Kami memakamkan Nike setelah membungkus bangkai kucing itu dengan kain-kain yang didapat dengan susah payah oleh anak-anak dari bekas-bekas rumah di Izul. Sebuah kemewahan, jika dilihat dari segi ekonomis dan sisi objektif, tapi anak-anak mulai menangis lagi ketika aku mengungkapkan alternatif kantung kresek untuk pembungkus Nike, jadi Idris mengalah dan mengajakku berkeliling Izul, mengais-ngais sisa kain apa saja yang bisa digunakan untuk membungkus Nike.

Seperti selayaknya menguburkan Manusia.

Ah, padahal kain kafan saja kemewahan di sekitar sini.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana Idris, aku, Elma, dan Elias harus sangat berhati-hati dalam menyelinap ke balik banyak reruntuhan peradaban di Izul, berharap dapat mengais-ngais sisa harta karun apa pun di bekas bekas ibukota yang telah mati sambil berharap tidak menemui satu pun tentara. Dari fraksi mana pun.

Kami harus menjaga langkah setiap detik selama lima jam pencarian demi menjaga seluruh anggota tubuh kami dari kolom-kolom rapuh bangunan tinggi, intaian mata-mata yang tidak terlihat di dalam bayagan, sisa ranjau, hulu ledak aktif, senapan yang masih terisi, atau granat yang masih menyala. Semua hanya demi kain kafan ala kadarnya untuk mengubur seekor kucing kecil.

The Free NightingaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang