| XII - Wishy-Washy |

Začít od začátku
                                    

"Apanya?"

Mama tersenyum. Berdiri dan mengambil alih tempat di sebelahku. Jadi, aku berada di antara Mama dan Papa sekarang, sementara Mas Stya tetap di seberang. "Duda itu ndak selamanya buruk lho, Pra. Dia punya banyak pengalaman. Pengalaman menghadapi perempuan, menghadapai anak kecil, menata rasa, menahan emosi selama pernikahan. Jadi, kita ndak perlu takut kalau sikap aslinya bakal keluar dan kita dijadikan mesin percobaan untuk dibentak, dimarahi dan lain-lain." Semua omongan panjang Mama nggak ada yang kumengerti. Kami kan lagi bahas Gandhaa, kenapa malah ke emosi dan kawan-kawannya?

"Iya, Sayang. Dulu, waktu Papa baru nikah sama Mama. Itu kacau. Papa yang nggak tau apa-apa dan Mama-mu sama nggak tahunya. Kita sering salah paham karena belum berpengalaman dalam berkeluarga. Jadi, duda itu nggak selamanya buruk."

Ha? Aku menolehkan kepala ke arah Papa, mengernyitkan dahi. "Maksud Papa dan Mama...." Kualihkan pandangan ke Mama. "Duda di sini itu ... Gandhaa?"

Kepala mereka mengangguk.

"NGGAK MAU! Amit-amit ya Allah, Mamaaaa. Ih aku! Nggak mau sama duda. Nggak mau bekasan. Nggak mau bekas orang! Ew!"

"Hei, dengerin dulu. Gandhaa itu kan baik. Bekas orang juga, bukan bekas iblis, Pra." Mama menyentuh lenganku, sementara aku sudah menutup muka, terisak. Membayangkan aku akan di-ena-enain Gandhaa membuat jantungku kewalahan. Ew! Jangan, Tuhan...! "Yang single, belum tentu sesempurna dia. Dewasa pemikirannya, banyak uangnya. Kamu, katanya butuh suami yang banyak uang."

"Ta-tapi nggak bangkotan juga kali." Aku melotot pada Mas Satya karena melihat laki-laki itu tergelak, meremehkan. Sambil sebelah tangan mengusap ingus, aku mengacungkan jari lainnya. "Apa? Mas Satya seneng diperlakukan sedemikian baik sama Mama dan Papa? Dibiarkan memilih jodoh sendiri, sedangkan aku diumpanin ke pria tua? Hah?"

"Enggak gitu, Sayang." Papa mengecup kepalaku, tetapi kali ini aku tak merasakan kasih sayangnya. Mereka semua egois. Memaksa kebenaran hanya dari versi mereka. Tanpa tahu kalau yang kudambakan adalah perjaka dengan segala rasa penasaran dan kesempurnaannya. "Papa sama Mama cuma pengin yang terbaik buat kamu. Begitupun Eyangmu. Mamanya Gandhaa kan udah temenan sama Eyang sejak sekolah dulu. Jadi, sudah sama-sama mengenal bibit, bebet, bobotnya."

"Duda melengkapi bibit, bebet, bobot?"

Mereka bungkam.

Sampai kalimat Mas Satya kembali menyapa suasana. "Dengerin Mas. Mas tahu, sebagai perawan, kamu mendambakan laki-laki sama baiknya dalam arti masih fresh. Tapi, kamu harus paham, di jaman sekarang, di mana kamu nemu perjaka, dewasa, ganteng dan mapan?"

"Ada."

"Enggak ada, Pra."

"Berarti Mas Satya...."

"Dengerin kata-kata orang tua." Tanpa menungguku menjawab, Mas Satya malah nyelonong ke kamar.

"Mas Satya nggak perjaka?!" teriakku, saat ia sampai di anak tangga. Namun, laki-laki itu tak mendengarkan, atau pura-pura saja. "Ma, Pa, Mas Satya nggak perjaka! Dia bandel!"

"Bener itu, Sat?!" Dan, teriakan Papa akhirnya berhasil memberhentikan langkah Mas Satya.

Dia menolehkan kepala. "Enggak, Pa! Jangan percaya mulutnya Pra. Dia pembohong."

Aku masih nggak percaya kalau Mas Satya perjaka. Dialah pembohong sebenarnya.

Dan, sudah berlalu dua hari setelah malam itu, aku mengurung diri di kamar, mematikan ponsel, dan makan kalau aku merasa sudah sangat tidak kuat menahan lapar. Semua itu karena aku berharap keluarga akan prihatin dan membela. Membebaskanku dari semua drama yang mereka cipta. Ew. Dijodohkan. Aku nggak akan masalah kalau laki-laki pilihan Eyang, Mama atau Papa itu adalah pangeran Dubai, yang ganteng dan kaya raya, bukan malah duda modelan Gandhaa.

Wishy-Washy ✔️ [ SUDAH TERBIT ]Kde žijí příběhy. Začni objevovat