| V - Wishy-Washy |

83.5K 10.3K 1K
                                    

Biar bagaimanapun kecilnya dada, performa seks tetap harus prima.

..
..
..





Yang masih menjadi pertanyaan terpenting dalam benakku adalah; kenapa kesialan itu selalu ada bahkan di hari yang kita puja? Seolah semuanya itu memang lengkap banget di dunia. Jadi, rasanya terlalu abnormal kalau aku bisa bahagia lebih dari 365 hari tanpa cela.

Tidak cukup gimana bete-nya aku setelah menelepon Laras dan merepet sampai puas tentang betapa kesalnya aku atas status Gandhaa (Oh yeah, of course, aku sekarang sudah berani memanggilnya nama, why not?).

"Elo kenapa nggak bilang kalo dia duda?!" semburku dengan amarah yang siap membludak. Tapi tetap, aku duduk santai di sofa apartemen---yang lumayan---Gandhaa.

"Lo nggak nanya."

Balasan santai itu jelas aja membuat jarum kemarahanku naik dua tingkat. "Sengaja ya lo masukin gue ke kandang singa? Demi apa pun dia duda, Ras!"

"Apa salahnya sama duda sih, Pra!" bentaknya. "Dia manusia. Dia punya anak. Dia punya kerjaan. Dia punya hati, jantung, kepala dan mata. Jadi, kasih tau gue, di mana letaknya dia nggak layak dijejerkan sama manusia sempurna macam elo, hah?"

Dan, aku bungkam. Benci banget sama Laras karena selalu tau cara mendebatku sampai aku benar-benar nggak berkutik. Aku benci dilawan. Aku benci dikalahkan. Aku benci dibuat mati gaya. Dan, sialannya, si Kolot satu itu selalu punya cara licik.

"Bininya meninggal waktu lahirin Raka. Sembilan tahun lalu. Dia---"

"Mati?"

"Meninggal, Pra! Demi Allah, elo gue saranin dari dulu buat belajar pembendaharaan kata!"

Aku terkikik. "Oke, oke, lanjutin."

"Tanpa ucapan maaf, Ms. Radha," sindirnya, tetapi tetap melanjutkan. "Dia nikah setelah jadi sarjana, waktu umur dua lima." Anjrit! Sudah kolot, ternyata bodoh juga. Aku saja bisa menyelesaikan sarjana di usiaku yang ke-22. "Dua tahun kemudian, waktu dia lagi di masa coschaap---jangan tanya ini tentang apa kalo nggak mau gue banting hape lo---dia punya Raka sekaligus kehilangan bininya."

Ya salam. Si Laras ini benar-benar ya. Ngancem terus kerjaannya. Dia pikir aku ini bodoh apa. Oke, memang medis bukan kesenanganku sih.

"Dan, lo bayangin aja gimana, dia yang lagi dalam masa kepanitraan klinik, butuh support, malah ditinggal sama istri. Jadilah, Raka diasuh sama Neneknya di Yogya dan bikin Mas Gandhaa bolak-balik Jakarta-Yogya setiap weekend."

"Sudah mulai akrab, Ms. Aulia?"

"Ceriwis amat sih lo! Dengerin cerita gue dulu. Nggak ada empatinya lo ya." Laras masih terus menyerocos sementata aku cuma manggut-manggut. Ya gimana mau empati kalau aku bawaannya sudah kesal banget sama si Gandhaa-Gandhaa itu. "Lo pikir mudah buat daptein gelar spesialis itu, Pra?"

"I don't know. Mudah kali. Tinggal nyogok, selesai."

"Ya ya ya. Sayangnya, lo harus mulai paham kalau realita nggak melulu sesuai isi kepala batu lo itu, Pra." Laras tertawa remeh, di sebrang sana. "Setelah tiga tahun coschaap, dia baru dinyatakan lulus, terus ikut Ujian Kompetisi Dokter Indonesia dan Mas Gandhaa harus ngulang ssbanyak tiga kali baru bisa dapet Surat Tanda Registrasi."

"Hahahaha. Gue kira tuh orang pinter banget gitu ya, Ras, sampe sok-sokan bikin kriteria pengasuh aja di atas rata-rata. Ternyata, astaga. Udah mana lulus sarjana umur dua lima, ujian begitu harus ngulang tiga kali. Sumpah. Ngakak gue."

Wishy-Washy ✔️ [ SUDAH TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang