Prolog

18.5K 1.5K 82
                                    

"Mampus kau, Keparat! Lewati saja pintu Malik!"

Hampir senja dan tawa masih menggelegak.

Matahari merangkak turun. Burung-burung yang sempat bertengger di atas dahan pepohonan di sekitar jalan lengang bekas kerusuhan dan ditinggali jejak asap beserta api yang membuatnya dari tiada menjadi ada, berarak terbang secara serempak, begitu bunyi letusan senjata berentetan menggerung, menggelegak memenuhi jalan-jalan dengan mayat-mayat bergeletakan. Darah berceceran, menetes dari bekas-bekas luka tembakan yang menganga di beberapa bagian tubuh, mengalir membanjiri aspal dan tergenang di bawah tubuh-tubuh tak bernyawa membentuk danau merah kental berbau anyir.

Di persimpangan dekat truk-truk dan mobil-mobil terbakar, segerombolan orang berpakaian lusuh menodongkan senjata pada sekelompok orang berseragam rapi yang menundukkan kepala ketakutan. Pemandangan itu tertangkap oleh mata seorang gadis cilik. Rambutnya yang dikepang rambat dan diikat pita berbentuk bunga anggrek terhentak perlahan begitu langkahnya terhenti. Selama seharian itu ia lepas dari pengawasan dan kejaran orang-orang yang menjaga keamanannya. Seharian itu pula ia mencari keberadaan orangtuanya. Tubuhnya bergetar ketakutan tiap-tiap melihat ke arah mayat-mayat bergelimpangan di pinggir jalan. Dipandangnya dua orang terkasih yang diarak oleh kelompok bersenjata itu. Gurat ketakutan membias lepas dari kedua matanya yang kini berkaca-kaca. Orangtuanya tertunduk di bawah kaki orang-orang bersenjata itu. Satu per satu dari gerombolan orang berpakaian rapi yang diketahuinya sebagai kawan kerja orangtuanya ditembak sampai mati.

Dan salah seorang wanita di antara mereka menatap si gadis cilik, terkejut bukan kepalang. Mulutnya bergerak-gerak memerintahkan si gadis cilik untuk menghindar dan bersembunyi. Suara tembakan lain terdengar, membuat air mata si gadis cilik yang tadinya merebak kini menetes lebih deras dari kedua mata membelalak ngerinya. Papanya telah dibunuh! Dibunuh di depan matanya! Tubuhnya tergeletak bersimbah darah, semakin meremas jantung si gadis cilik hingga membuat bibirnya gemetaran.

Wanita di sampingnya, ibunya, menggelengkan kepala, memohon dari raut wajah keibuannya, meminta agar putrinya segera menghindar sebelum ia ditangkap dan dibunuh.

Rambut wanita itu ditarik kasar, tubuhnya diputar menghadap langsung pada putrinya yang berdiri termangu menatapnya. Bagai disambar petir, gadis cilik itu terperanjat kaget begitu selongsong peluru dimuntahkan dalam sekali hentakan menembus belakang kepala ibunya. Bertambah deras dan tumpah ruahlah bendungan air matanya melihat dengan mata kepalanya sendiri, ibunya ditembak mati. Ditembak mati! Bahkan sebelum tubuhnya limbung bersatu dengan darah yang mengalir di aspal tersebut, senyum tulus nan menentramkan bak dewi padi terulas dari bibir wanita itu. Matanya memandang kosong pada putrinya. Lalu detik berikut badannya seakan ditarik oleh medan magnet bumi, jatuh dalam posisi tengkurap. Tak bernyawa.

Hampir gadis itu menjerit keras, sebelum seseorang dengan seragam hitam, pelindung kepala, dan masker wajah menariknya mundur dan langsung membawanya ke tempat persembunyian. Dibekapnya mulut gadis cilik itu, yang meronta dan menjerit-jerit, memukul-mukul lengan si pemuda berseragam hitam. Air mata gadis cilik itu seakan menjelma menjadi derai hujan di pipi merahnya. Pitanya terhempas jatuh di bawah sepatunya, ketika ia diseret mundur menuju tempat persembunyian, membuat kepang Prancis pada rambut legamnya terurai acak-acakan.

"Dengar, dengarkan aku," pemuda itu berbisik mengancam di telinga si gadis cilik. "Lihat mataku." Ia menyentak kasar tubuh si gadis cilik, memaksanya berhadapan dengannya. Gadis cilik itu pun bersipandang dengan pemuda di depannya, yang tampaknya lebih tua delapan tahun darinya. Matanya yang berkaca-kaca laksana kilau lautan di malam hari bertubrukan dengan mata tajam pemuda di depannya. "Kita balas mereka. Kita balas mereka sampai tak bersisa."

Si gadis cilik bergeming.

"Kau dengar aku, hah? Jangan hanya diam!" Disentaknya tubuh gadis cilik itu kasar. "Ingat kata-kataku." Jemarinya mengetuk kepala si gadis cilik. "Kita penguasa negeri ini. Kaum proletar dan pemberontak adalah musuh terbesar kita. Mereka yang membunuh orangtuamu. Dan mereka tak pantas hidup. Mereka harus dibunuh. Seluruhnya."

Si gadis cilik hanya berkedip. Kata demi kata yang dilontarkan pemuda itu ia serap ke dalam kepalanya, menjadi doktrin yang melekat kuat di dalam otaknya bagaikan permen karet yang pernah ditempelkan salah seorang kawannya di rok seragamnya. Hingga berubahlah ekspresi yang sebelumnya tiada terukir di wajah polos nan kalemnya. Matanya kini memandang nanar, berhasil teracuni doktrin keparat pemuda berseragam hitam di depannya.

"Kau paham ucapanku?"

Si gadis cilik mengangguk lamat-lamat. "Ya."

"Siapa musuh besar kita?"

"Kaum proletar dan pemberontak."

"Siapa kita di sini?"

Ia berkedip satu kali. "Penguasa negeri ini."

"Siapa namamu?

"Andromeda Laksita Anggabaya."

a



Kersik Luai (SELESAI)Where stories live. Discover now