Duapuluh Lima

7K 732 64
                                    

Setidaknya aku tak perlu lagi merisaukan keadaan Btari.

Ia telah dirawat dengan baik, sesuai dengan janji Bimasakti atas usahanya berdiploma dengan Presiden Andromeda. Kini, Btari terbaring di dalam ruang khusus selama berjam-jam untuk dilakukannya transplantasi stem sel demi memperbaiki kerusakan pada jantungnya.

Selama itu pula aku dilarang menunggu, alih-alih dibawa Presiden Andromeda ke sebuah tempat. Hanya Bimasakti dan beberapa dokter ahli yang menangani Btari di tempat operasi. Aku bagaikan wayang di sebuah pertunjukan lakon, mengikuti kemauan dalangku yang berjalan beberapa meter di depanku, dikawal ketat tentara dengan pelindung kepala dan masker wajah; senjata berat tergenggam erat dan siap ditembakkan ke arahku jika aku melakukan tindakan nekad, seperti melukai presiden kesayangan mereka.

Dua daun pintu terbuka otomatis, mengantarku ke sebuah ruangan dengan furnitur serba canggih yang mengkilat dan mahal. Aroma anggrek menguar semerbak memenuhi penciumanku dalam waktu singkat. Presiden Andromeda memintaku duduk di sebuah sofa pendek berhadapan dengannya, dipisah dengan sebuah meja kecil berlapis krom dan kaca berbentuk mungil nan elegan. Ekor mataku mengamati sejenak keadaan di sekelilingku. Sekilas pandang saja, agar wanita tiran di depanku tidak menyadari apa yang tengah kupikirkan duduk berhadap-hadapan dengannya di sebuah ruang asing yang tak pernah mampir di dalam pikiranku sebelumnya.

Presiden Andromeda menekan sesuatu di atas meja, lantas berbicara pada mikrofon, memerintahkan seseorang memberikan suguhan pada kami. Ia menyilangkan tungkai dengan gerakan elegan. Gesturnya begitu menawan. Naluriku sebagai lelaki normal tentu akan memuji betapa cantik wajahnya yang bagaikan seorang dewi dari kahyangan. Namun sayang, keelokan yang dimilikinya harus tertutup rapat oleh aura gelap sosok iblis yang mengundang sinyal permusuhan.

"Jadi, ceritakan padaku tentang dirimu," katanya memulai permbicaraan di antara kami. Ia selipkan senyum manis madu. Tangannya terlipat di atas pangkuan, sedang punggungnya disandarkan pada sandaran sofa pendek. Pandangan menusuk nan mengintimidasinya menerjang mataku, langsung dari manik matanya yang berwarna zamrud.

Detik berikut aku melihat perubahan manik matanya dari zamrud menjadi ungu. Hm, aku tidak heran. Sungguh mewakili dirinya.

"Percayalah, tidak ada yang menarik dari saya."

"Ah, bagaimana bisa tidak ada yang menarik darimu?" Sebelah alisnya melengkung ke atas seakan mencemoohku. "Berhasil membobol keamanan zona kami, meretas situs kepresidenan, menyadap pembicaraan rahasiaku... dan kau melakukannya tanpa jejak. Sepanjang eksistensiku, Nagara Adinata, aku tidak pernah bertemu—atau bahkan sekadar tahu—seseorang macam dirimu, seorang proletar pula. Dan kau merendahkan diri dengan mengatakan tidak ada yang menarik dari dirimu?" Ia memiringkan kepalanya tak kentara sambil berkedip satu kali. "You must be kidding me."

Aku menepuk lengan sofaku, mengangkat kaki ke atas paha dan mengedikkan bahu. "Apa yang ingin Anda ketahui? Saya rasa, Anda sudah tahu segalanya."

"Aku tahu kalau ayahmu adalah dalang pemberontakan dan penyelundupan beberapa waktu silam—"

"Sayangnya, yang itu sekadar wacana, Bu Presiden." Aku tersenyum simpul. Ia pandang aku terkejut dengan bibir mungil terbuka dan satu alis terangkat. Memang sikap yang tidak sopan menginterupsi ucapan seorang pemimpin. Persetan soal kesopanan kalau sudah berhadapan dengan manusia macam dirinya. Aku pun melanjutkan, tidak peduli terhadap reaksinya, "Ayahanda saya hanya korban kesalahpahaman."

"Sayang sekali." Dikedikkan bahunya tak acuh, meski kudengar ada nada meremehkan di dalam suaranya. "Memang kebenaran mutlak itu susah ditemukan ya." Ia tambahkan ucapan merendahkan tersebut dengan kikikan tawa.

Aku menanggapinya, tersenyum miring samar tanpa mengubah posisiku. Entah kenapa, aku sungguh nyaman dengan posisi seperti ini, kendati gestur yang kuberikan jauh dari sopan santun.

Kersik Luai (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang