Minggu, 2 November 2013.

10 2 0
                                    


Seorang wanita berdiri tepat di depanku sesaat setelah daun pintu kubuka, ia berteriak sambil melempar tas kearahku, “Kemana saja kamu?”
“A... Aku?” Jawabku terbata, sambil memegang tas yang ia lemparkan.
“Iya kamu! Kenapa BBM aku ngga dibalas? Kenapa aku telfonin ngga diangkat?” Memperlihatkan gadgetnya tepat di depan wajahku.
“Aku lagi bersih-bersih di belakang, Ndang. Handphone aku charg di kamar, jadi aku ngga tahu kalau kamunya nelfon.” Jawabku pelan.
“I.. Iya, kenapa ngga ngabarin? Apa susahnya sih ngetik SMS atau BBM?” Endang sempat terbata dan kembali berbicara dengan tensi tinggi.
“Kan udah aku kasih tahu semalam, kamunya aja yang lupa.” Sembari duduk di kursi tamu.
“Jadi kamu nyalahin aku? Kamu marah sama aku karena aku lupa? Iya?”
“Apaan sih.” Aku menggerutu.
“Seharusnya kamu ingetin, akukan ngga harus capek-capek kesini, akukan ngga harus marah-marah kayak gini.” Ia menghempaskan badanya ke kursi tamu.
“Jadi aku yang salah? Aku yang ngga ngasih kabar sama kamu? Iya?” Aku menatapnya tajam.
“Lewat sms aja ngga apa-apa kok, kan kamunya tahu kalau aku itu orangnya lupaan.” Tensi bicaranya turun, pandangannya tertuju pada jemari yang ia mainkan di antara kedua kakinya.
Aku hela nafas panjang, mencoba meredam amarah. “Aku minta maaf, air matanya hapus ya, aku ngga suka lihat kamu nangis.”
“Aku yang seharusnya minta maaf, aku benar-benar ngga ingat. Maaf, kalau bukan karena akunya yang pelupa, ini ngga bakalan kejadian, aku memang pelupa!” Endang menangis dan memukul pelan kepalanya.
“Iya aku ngerti, lagian salahnya aku juga yang ngga ingetin kamu lagi. Udah ya nangisnya, mama dari tadi nanyain kamu tu.” Aku menggenggam kedua tangannya.
“Kamu ngga marahkan?” Endang tersenyum sambil menyeka air matanya dengan puggung tangan.
“Ngga, ngga. Mama di dapur tu, sana samperin.” Aku berjalan menuju kamar.

Dia Endang, Endang adalah seorang mahasiswi Sastra Ingris di salah satu Universitas ternama di Jakarta. Ayahnya adalah bule dari Jerman yang menikahi wanita berdarah Minang duapuluh dua tahun silam. Rabutnya pirang, kulitnya putih, tinggi semampai dan mempunyai bola mata yang indah. Aku heran kenapa ia mau menerima perjodohon dari orang tua kami, padahal ia bisa mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik.

Tahun ini adalah tahun kedua perjodohan kami. Umur Endang yang masih dua puluh satu tahun membuat keluarga kami harus menunda pernikahan, hingga Endang benar-benar siap menjalani bahtera rumah tangga. Umurku dan Endang terpaut lumayan jauh, sekarang aku telah menginjak usia dua puluh delapan tahun. Dalam hubungan ini aku harus selalu sabar menghadapi tingkah remajanya Endang, dia bisa sangat marah jika aku tak memberi kabar dalam sehari, dan dia begitu mudah menangis ketika aku mulai kesal dengan tingkahnya.

“@BayuRivaldy @BintangIndriana kalian yang sabar ya, apapun alasan di balik ketertundaan ini semoga cepat mendapat solusi, jodoh pasti bertemu.”
Begitulah yang kulihat di twitter saat aku memainkan gadget di kamarku. Bayu? Tertunda? Ada apa dengan sahabatku ini? Apakah ketertundaan yang dimaksud ini adalah pernikahan?
Jemariku menari ligat di atas layar gadget mencari nomor telfon sahabatku ini.
“Assalamualaikum Bay.”
“Waalaikumsalam.” Suara lembut seorang wanita mejawab salamku.
Jantungku tiba-tiba bergetar, iramanya tak beraturan. Aku sempat terdiam, merasa telah mengenal wanita ini, suaranya begitu familiar di telingaku. Siapa dia?
“Walaikumsalam, ini siapa ya?” Ia kembali mengucapkan salam.
“Maaf, ini nomor telfon Bayu?”
“Iya benar.”
“Bayunya ada?”
“Bayu lagi sakit.” Jawabnya seketika.
“Bayu sakit?”
“Iya.”
“Uda, uda dimana? Aku buatin teh nih.” Suara Endang terdengar samar.
“Sakit apa?” Aku tak menghiraukan Endang yang memanggil-manggilku.
“Asma.” Jawabnya singkat.
“Rumah sakit mana?” Tanyaku panik.
“RSUD Kota Padang.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Siapa yang nelfon?” Endang berdiri di pintu kamarku dengan tadah secangkir teh di tanganya, wajahnya mulai  menyimpan curiga.
“Jangan salah paham dulu, ini temanku yang di Padang, dia sakit.” Jawabku sedikit tegas sembari mencari baju di lemari.
“Terus? Kamu mau ke Padang?”
Aku menjawabnya dengan mengangguk.
“Ikut.” Pintanya lembut.
“Ngga usah, nanti malam aku juga balik.”
“Ngga, aku ikut!”
“Ndang, jangan mulai deh!” Aku menatapnya tajam.
“Iya, iya, Endang nungguin kamu disini ya. Sampai kamunya pulang.”
“Iya, iya.” Jemariku menjejaki layar gadget memesan tiket pesawat.
“Kamunya jangan nakal, langsung pulang kalau udah selesai!”
“Iya, Endang.”
Saat aku sampai di tempat Bayu dirawat, Bayu sedang tertidur. Dia ditemani seorang wanita cantik berhijab. Aku tersenyum ketika wanita cantik ini melempar senyum kepadaku, dia begitu ayu, santun dan lemah lembut. Jantungku kembali berdegup tak karuan mendengar wanita ini menjawab salamku. Hatiku bertanya ‘Siapa wanita cantik ini? Apakah ini Bintang yang tertera di twitter tadi? Bayu memang pantas mendapatkan wanita seperti ini, ia cantik, Bayu tampan.
Ia mengambilkan segelas air putih untukku, sembari bertanya siapa aku.
“Temannya Bayu?”
Aku dibuat terpana akan kecantikannya, seketika aku langsung terbangun dari lamunanku. “Ada apa uni?”
“Uda temannya Bayu?” Wanita ini mengulang pertanyaannya. 
“Iya uni, aku teman SMAnya Bayu, yang menelfon tadi.”
“Bi...” Bayu yang baru saja bangun tak menyadari kehadiranku,“Hey sanak, kapan datangnya?” Mata sipitnya sedikit membesar, walaupun memang matanya takan bisa lebih besar dari mataku.
“Belum terlalu lama sih, minumanku saja belum habis separohnya.”
“Udah dari tadi?” Tanya Bayu kesal.
“Kamu lagi tidur, ngga mungkinlah aku tega membangunkanmu.”
“Udah pandai segan ya sekarang? Dulu, kamu yang jahilin aku pas tidur.” Bayu memukul pelan lenganku.
Aku tertawa teringat masa SMA dulu. “ Beda sanak, sekarang mah sicowok keren se-SMA dulu sedang tak berdaya, mana tega aku.” Aku menarik kursi mendekati tempat tidur Bayu.
“Aku lagi istirahat, capek kerja terus.” Bayu menjawab dengan gurauannya.
“Mentang-mentang sudah sukses, sekarang bilang capek.” Aku sedikit menyeringai, “Sukses sudah, calon istri udah, terus nikahnya kapan?“ Sambil sedikit begurau aku mengarahkan pembicaraan tentang pernikahan.

HalfheartedlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang