1. Surat Utang

63.5K 4.6K 1.8K
                                    

Darmawangsa International High School

Maaf, saldo Anda tidak mencukupi untuk melakukan transaksi ini ....

Pesan di layar ATM itu terus membayang di kacamata silindernya. Meledek. Menekan. Huh, bisanya cuma minta maaf, rutuk Megan dalam hati. Mestinya kartu dibuat cerdas, bisa kasih peringatan saat digunakan untuk membayar. Menyala dan berbunyi sekalian. Warning, warning, saldo tinggal buat SPP, jangan dipakai untuk yang lain.

Tanpa alarm, ia merasa aman-aman saja pakai autodebet untuk belanja buku dan peralatan gambar dua minggu lalu, kemudian lupa. Sekarang, saat ia perlu uang tunai, baru deh dibikin syok. Cuma selembar seratus ribuan yang bisa diambil. Sampai ia harus memeriksa saldo dua kali, siapa tahu mesinnya error.

Megan meninggalkan galeri ATM di basement dengan kepala terasa berputar. Jantungnya pun bekerja terlalu keras sampai kaki dan tangannya lemas. Rasanya enggak sanggup kalau harus naik tangga ke kelasnya. Sekali ini saja deh pakai lift untuk difabel. Ia bersandar di dinding kabin yang membawanya ke lantai dua. Teman-teman pasti masih ngomongin hadiah ultah kejutan buat Miss Mala, wali kelas mereka. Sambil menunggu bendahara kelas mengambil dana kas. Siapa bendahara kelas?

Dirinya. Megan Naja Nitisara. Dipilih secara aklamasi karena ia jago matematika dan enggak punya banyak duit pribadi jadi kecil kemungkinan kecampur. Begitu alasan teman-teman. Konyol.

Mereka enggak tahu, justru karena pemasukan seret, uang kas sudah habis juga ia pinjam untuk membeli buku bulan lalu. Megan berniat menggantinya dengan uang SPP. Dan SPP akan ia bayar dengan uang dari Tante Naura. Tante menjanjikan uang saku ekstra kalau nilai-nilai rapor bayangannya meningkat.

Ternyata nilainya jeblok, mengecewakan. Tidak ada ampun dari Tante, bonus melayang. Sekarang ia berutang pada kas, berutang uang SPP. Buku-buku tidak mungkin dijual lagi. Sebagian merupakan edisi langka dan sebagian lagi bertandatangan penulis khusus untuknya.

Megan mengusap buliran keringat di dahi, menatap bayangannya pada cermin di dinding. Kacamata berbingkai hitam kontras menutup sebagian muka pucatnya. Rambutnya yang panjang bergelombang kusut karena banyak digaruk dalam perang emosi melawan ATM.

Sebentar lagi lift membuka di lantai dua. Mau bilang apa pada teman-teman sekelas?

Sori ya, uang kas habis aku pakai untuk keperluan pribadi. Tolong pinjami dulu. Kalian kan banyak duit!

Megan menggeleng sendiri. Kalau begitu, selamanya ia enggak bakal bisa masuk kelas dengan kepala tegak lagi.

Maaf, ternyata kartu ATM-ku ketinggalan di rumah. Pakai uang  kalian dulu ya?

Bisa dipastikan akan ada usulan mampir ke rumahnya sebelum mereka pergi ke mal beli hadiah. Tidak. Jangan sampai Tante Naura tahu permasalahannya. Percuma juga. Tante enggak bakalan berbaik hati membayarkan utangnya. Pasti malah bilang begini, "Meg, kamu enggak kapok juga? Boros lagi. Enggak perhitungan lagi. Selesaikan masalahmu sendiri. Terserah dengan cara apa. Pokoknya, waktu Tante bikin laporan bulanan ke ayah-bundamu, urusan ini sudah beres. Kasihan mereka, kerja keras di kampung sementara anak sulungnya foya-foya di Bandung."

Sengak! Sejak kapan beli buku termasuk foya-foya? Iya sih, bukan buku pelajaran, sebagian besar malah novel. Tapi tetap saja buku, beli sebanyak apa pun, enggak akan pernah cukup karena judulnya kan lain-lain, dan semuanya perlu, semuanya layak koleksi.

Megan menyemburkan napas. Menyilangkan tangan untuk menggosok-gosok bahu sendiri. Mencoba meredakan kecemasan. Dan kaget saat bel berbunyi, pintu lift membuka. Masih waktu istirahat. Selasar ramai siswa terutama di depan kelasnya, 11 A. Duh, ia belum punya alasan bagus. Megan buru-buru menekan tombol ke lantai tiga. Di atas sepi karena hanya ada aula dan ruang-ruang ekskul yang baru digunakan di luar jam belajar. Ia perlu berpikir tenang mencari solusi.

PELIK [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang