| I - Wishy-Washy |

Mulai dari awal
                                    

"Ma..."

"Mau ke mana?" Ia mematikan api, berbalik, dan bersedekap. "Pra, Pra. Mama tuh kalau lihat rambutmu, rasanya mau pingsan. Terus kamu itu kalau pake baju, mbok ya yang waras gitu lho. Kalau ndak yang celana robek-robek pamer paha, sekarang gaunnya itu .... Ya ampun, kamu kalau nungging, itu bokongmu ke mana-mana."

"Pra pakai dalaman, Ma." Aku mendekat, mengecup pipinya kencang. "Nanti, kalu Mas Satya pulang, bilangin Pra lagi mau nyari mangsa dan siap-siap aja dia dilangkahi."

Mama mendengus, "Mama tuh udah berapa kali bilang ganti parfum, Pra! Baunya itu kayak susu, bikin mual." Sementara aku mengabaikannya dan tetap berjalan meninggalkan dapur.

Everyone, nanti beritahu aku di mana persamaan antara susu dan vanilla.





***





Turun dari taksi online, aku berjalan agak tergesa. Mengikuti ritme mereka yang lalu-lalang dengan pakaian formal nan cantik. Bekerja di akhir pekan, heh? Beberapa waktu lalu, aku masih bisa berbangga diri dengan penampilan formal dan menawan keluar-masuk kantor, sama seperti mereka. Dan, sekarang, aku meratap hanya dengan memandang iri.

Senyumku kembali merekah saat lambaian tangan putih itu terlihat. Aku mempercepat langkah. Di sana, sahabatku yang sekarang mengabdi di sebuah agensi, sedang tersenyum lebar. Meletakkan tas di kursi samping, aku menarik satu lainnya dan menata bokong dengan baik.

"Waw. Masih nggak berubah ya, Pra. Every single day, harus banget seksi gitu. Dada rata aja belagu."

Bully pertama untuk hari ini.

Aku mengangkat dagu, mengibaskan rambut, mencoba mendeklarasi citra perempuan dari dalam tubuh. "Ras, pekerjaan boleh raib, tapi penampilan tetap harus paripurna."

"Ya ya ya. Rambut ombrean jenis apa itu? Terus dress dengan warna senada, tanpa lengan, jual paha. Oke. Not bad. Harusnya, ada dermawan yang lewat sini dan khilaf buat transfer lo uang sisaan dia."

Mendengar kalimat eufisme itu, aku mengeluarkan gelak tawa tanpa paksaan. Ternyata Laras masih sama. Dalam kondisi apapun, ucapannya mampu mencipta bahagia.

"Gue jadi ragu, Pra, mau ngasih lo kabar ini. Terakhir kita ketemu dua minggu lalu, elo masih baik-baik aja. Kapan tuh rambut nyebur empang?"

"Kemarin. Karena gue beneran udah fucked up. Jadi, gue pikir, buang sial. Campuran pewarna rambut pirang sama biru cerah, warna pastel, dan pink muda dan gue nggak paham teknik yang sedemikian rupa yang penting hasilnya begini. Namanya holografik metalik. Jelek ya?"

"Enggak jelek, sih, cuma masalahnya, kontradiktif banget sama informasi yang mau gue umumin ini." Ia mengernyit, masih memandangi rambutku seakan ini adalah terburuk di dunia. "Oke, mau pesen apa? Gue bayarin deh, Korban PHK."

"Sialan lo!"

Laras memanggil waitress, memesan dua espresso dan dua Belgian waffle. Lalu, sembari menunggu pesanan, ia membuka tas dan mengeluarkan sesuatu. Ponsel miliknya. "Coba baca."

Kendati mengerutkan kening, aku tetap menerima tanpa protes. Membaca percakapan antara Laras dan Tante Eliyana---Tantenya. Tak kuat menahan bingung, pada akhirnya aku mengangkat kepala, "Maksudnya apa sih ini? Gue nggak paham. Temennya Tante lo nyari pengasuh gitu?"

Wishy-Washy ✔️ [ SUDAH TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang