"Ute nyebelin!" timpal Dirga dengan ketus.

"Kok Dirga nyalahin Ute? Kan Dirga yang salah."

"Ute nyebelin! Pokoknya Dirga nggak suka!"

Dirga terlihat begitu kesal dan marah, hal itu membuatku terdiam dan beranjak pergi ke arah Ibu dan memeluknya. 

"Ute kenapa?" tanya Ibu kebingungan. Aku hanya menggeleng pelan dan memilih untuk menyembunyikan diri di bawah ketiak Ibu yang sedang makan. "Ute makannya udah belum? Sini Ibu suapin" Ibu menawarkan sebuah suapan nasi dengan ayam goreng yang kujawab dengan gelengan. Perutku terasa kenyang saat ini. Dengan perlahan, aku mengintip dan melihat Dirga yang matanya kini memerah. Apakah aku salah?

"Ibu... Ute nyebelin ya?" tanyaku pelan yang membuat dahi Ibu berkerut.

"Siapa yang bilang gitu?" tanya Ibu keheranan. Aku memilih untuk tidak menjawab dan melihat ke sekeliling. Setelah Ibu menyelesaikan makannya, dan beranjak untuk cuci tangan, aku memutuskan untuk mengitari rombongan yang masih menyelesaikan makan siang mereka. Ada Ayah Pipit yang sedang memberikan susu stroberi untuk Pipit yang membuatku teringat dengan paman permen kapas yang selalu memberikanku permen kapas rasa stroberi di saat aku sedang menangis. Akhir-akhir ini paman itu bahkan lebih sering terlihat dan muncul di hadapanku, ia lalu akan memberiku permen manis itu, yang mulai saat ini aku nobatkan sebagai permen kesukaanku.

"Ute mau?" tawar Ayah Pipit yang membuatku mengulum senyum. Baru saja aku akan melangkahkan kaki dan mendekat, Pipit mengambil susu yang ada di tangan Ayahnya dan menatap Ayahnya dengan kesal.

"Pipit mau dua!" seru Pipit yang membuatku menghentikan langkahku.

"Kan nanti bisa beli lagi, buat Ute ya?" bujuk Ayah Pipit yang dijawab Pipit dengan gelengan. Aku memilih untuk melangkah menjauh karena Ayah Pipit sepertinya baru saja menegur Pipit hingga Pipit menangis.

Cukup Dirga yang berpikir jika aku menyebalkan, aku tidak mau Pipit juga berpikiran sama. Untuk susu stroberi, di tempat kerja Ibu ada berkardus-kardus. Aku akan memintanya kepada Ibu nanti.

Setelah selesai acara makan siang, kami akhirnya berkeliling untuk menaiki permainan-permainan yang ada di sana, mulai dari kuda-kudaan, naik kereta yang melewati terowongan yang berisikan dinosaurus dan banyak wahana lainnya. Dan terakhir, kami menonton pertunjukan singa yang melompati lingkaran, bahkan lingkaran yang diberi api dan juga pertunjukan singa laut. Ibu menyebutnya dengan atraksi.

Setelah acara yang cukup ramai itu bubar, Ibu mengajakku untuk pergi ke toilet dengan antrian yang cukup panjang. Aku mengantri bersama dengan Alen dan juga Ibunya.

"Ah, lama!" protes Alen dengan sebal.

"Sabar dong, Ute aja nggak ngeluh. Alen juga jangan ngeluh, oke?" kata Ibu Alen yang membuat Alen mencebikkan bibirnya kesal.

"Ute mau pipis?" tanya Ibu yang aku jawab dengan gelengan. Saat pertunjukan tadi, aku sudah buang air kecil bersama Bu guru Rasti, jadi aku belum merasakan keinginan itu.

"Yaudah, Ute tunggu sini sebentar ya sama mama Alen," titah Ibu yang kujawab dengan anggukan.

"Mama Alen, titip Ute sebentar ya!" seru Ibu yang dijawab anggukan oleh Ibunya Alen.

Tidak lama setelahnya, ada tukang es krim yang lewat, dan Alen merengek ingin membeli es krim itu. "Ibu! Alen mau es krim!"

"Sebentar ya, Ibu pipis dulu."

"Es krimnya keburu jauh!" protes Alen dengan sebal, ia pun beranjak ke arah jalan dan melihat tukang es krim dengan sepedanya yang beranjak menjauh.

"Ibu mau itu!" teriak Alen sambil mengejar tukang es krim yang perlahan menjauh. Akhirnya Ibunya Alen pun mengejar Alen yang kini mengejar tukang es krim itu. 

Suara orang yang cukup ramai membuatku menoleh ke arah jalan, dan di sana para badut sedang berjalan dan melambaikan tangannya. Bahkan mereka bersalaman dengan orang-orang sekitar mereka. Seekor badut berpakaian harimau mendekatiku dan mengajakku untuk bertos ria yang tentunya tidak ku tolak. Badut itu mengelus kepalaku singkat sebelum kembali berjalan bersama rombongannya.

Saat rombongan itu pergi, aku melihat tukang permen kapas berada di seberang jalan tempat aku berada. Permen kapas berwarna merah muda itu benar-benar terlihat begitu enak. 

Setelah menengok ke kanan dan ke kiri aku pun menghampiri tukang permen kapas itu dan melihat bagaimana cara permen kapas itu dibuat. Itu terlihat seperti sarang laba-laba di rumahku pada awalnya.

"Ariska mau?" Suara itu membuatku menoleh. Disampingku ada anak yang lebih kecil dariku yang memandang permen kapas itu tidak kalah antusiasnya denganku.

Kemudian paman itu mengeluarkan dompetnya dan membelikan anak kecil itu permen kapas berwarna merah muda itu.

Punya Ayah itu enak ya? Ayah pasti selalu membelikan apa yang aku mau.

Paman itu menggandeng anak kecil yang dipanggil Ariska tadi dan beranjak pergi. Namun bukannya berjalan lurus, anak itu malah berbelok ke arahku yang membuat ia terjatuh. Paman itu dengan sigap membantu anak itu berdiri. Anak itu tidak menangis meski terjatuh. 

Sepertinya anak itu melihat ke arah tukang balon yang sedang lewat sehingga tidak melihatku sedang berdiri di dekatnya. 

"Ariska nggak papa?" tanya paman itu yang dijawab gelengan olehnya. Kemudian anak itu menunjuk tukang balon yang membuat paman itu menggendongnya dan berjalan mendekati tukang balon itu setelah memanggilnya.

Aku masih asik melihat pembuatan permen kapas itu sampai bahuku ditepuk pelan oleh seseorang. Begitu aku menoleh, paman tadi ternyata berdiri di depanku, kini dengan sebuah balon bergambar hello kitty di tangan anak kecil tadi.

"Kamu sendirian?" tanya paman itu yang membuatku menoleh ke sekeliling. Aku tidak melihat Ibu maupun Ibunya Alen sehinggak aku mengangguk.

Paman itu kemudian menggendongku yang awalnya kutolak, tetapi begitu paman itu memberikan permen kapas yang tadinya berada di tangan anak kecil tadi, aku tidak memberontak. Paman ini mengingatkanku akan paman permen kapas.

Begitu paman itu menggendongku, wangi parfumnya yang manis seperti permen membuatku begitu menyukainya. 

"Ariska, ayo kenalan sama kakak, nama kakak siapa?" tanya paman itu.

"Ute," jawabku singkat.

"Nama yang bagus, Ute, ayo kita cari mama!"

"Ibu," koreksiku yang membuat paman itu tertawa.

"Ute! Ya ampun!" teriakan Bu Guru Rasti membuatku menoleh, dan paman itu pun berjalan mendekati Bu Guru Rasti yang terlihat panik saat ini. Matanya memerah, bahkan terlihat genangan air mata di sana.

"Maaf pak, saya guru anak ini," ucap Bu guru Rasti.

Bu Guru Rasti langsung menggendongku, dan mengucapkan kata terima kasih berulang-ulang kepada paman tadi yang dijawab oleh paman tadi dengan anggukan.

"Jangan pergi sendirian lagi ya, Nak, Ibumu sampe nangis-nangis saking paniknya kamu ilang," ucap Bu Rasti yang aku jawab dengan anggukan. 

"Sekali lagi makasih, Pak." Bu Rasti kemudian mengambil permen kapas yang ada di tanganku dan memberikannya ke arah Ariska. Tetapi paman itu menahannya.

"Buat Ute aja, lain kali jangan pergi sendiri ya?" ucap paman itu yang aku jawab dengan anggukan.

***

Andai saja aku tahu siapa sebenarnya sosok laki-laki itu saat itu...

LutteWhere stories live. Discover now