Sembilan

31.2K 1.6K 42
                                    

Hampir dua bulan Nina tidak pernah bertemu lagi dengan Kevin. Selama itu pula ia merasa hari-harinya kembali nyeri setiap kali mengingat perbuatan pria berengsek itu.

Sudah seminggu Nina merasa kondisi badannya mulai menurun. Ia sering cepat merasa kelelahan. Kepalanya sering mendadak pusing dan membuat perutnya bergejolak ingin memuntahkan sesuatu tapi tak ada yang keluar. Mungkin karena ia sering tidur terlalu larut dan menangis membuat kondisi tubuhnya drop. Jadi hari ini Nina memutuskan untuk kedokter karena ia sudah tidak sanggup membiarkan sakitnya yang semakin menjadi.

Nina duduk melamun menunggu namanya di panggil. Seseorang menyentuh bahunya dan membuat Nina sedikit terlonjak.

"Hei, sedang apa di sini? Apa kau sakit? Kenapa tidak menghubungiku terlebih dahulu, jadi tidak perlu mengantri," tanya Arlan lembut.

Nina tersenyum menyapa. "Aku hanya merasa tidak enak badan akhir-akhir ini. Lagi pula hanya sakit biasa jadi aku tak perlu menghubungimu."

Kening Arlan mengkerut mencoba mencerna ucapan Nina, seperti menduga-duga. Mencoba menayakan perihal kondisinya. "Hm, bisa kau ceritakan, apa saja keluhanmu?"

Nina merasa tak paham dengan ucapan Arlan.

"Maksudku apa saja yang kau rasakan di tubuhmu itu, Nina Samantha?" jelas Arlan mengulang.

Nina tersenyum merasa bodoh karena tidak mengerti maksud Arlan.

"Kau lupa, aku ini seorang dokter jadi aku juga bisa mendiagnosa penyakitmu. Kau juga bisa menjadi pasienku kalau kau mau." Arlan mencoba mencandai Nina.

Nina tertawa kecil. "Beberapa hari ini aku sering merasa lelah padahal kegiatan yang kulakukan sama seperti biasanya. Kepalaku juga sering pusing disertai mual yang membuat tubuhku semakin lemas."

Arlan mulai membenarkan praduga yang baru saja dipikirkan. Tapi masih mengelak, semoga saja itu hanya dugaan asal karena dirinya terlalu mengkhawatirkan gadis ini. Baru saja Arlan ingin berkata, suara suster terdengar memanggil nama Nina. Gadis itu segera berpamit dan meninggalkan Arlan dengan pikiran yang masih menggelayut.

Ya, dia harus menanyakan langsung ke sahabat brengseknya itu. Arlan pastikan Kevin harus bertanggung jawab.

Semoga prasangkaku tidak benar.

Nina perlahan menghampiri dokter wanita yang sedang tersenyum manyambutnya. Nina mulai menceritakan tentang keluhan sakitnya. Dokter wanita itu tampak mengangguk-anggukkan kepala seperti sudah memahami. "Kapan terakhir kali Anda menstruasi?"

Nina mengernyit tampak ragu kenapa sang dokter malah menanyakan siklus bulanannya. Memangnya dia sakit apa?

"Kira-kira sebulan yang lalu dan bulan ini aku belum mendapat periodeku padahal sudah lewat dua minggu dari tanggal seharusnya," jawab Nina cemas. Nina mulai sadar ternyata sudah sangat lama tidak mendapati tamu bulanannya. Seketika wajahnya memucat. Ya, Tuhan ...

Lalu sang dokter membawanya ke ruang periksa. Nina hanya menuruti serangkaian pemeriksaan tanpa bertanya. Ia terlalu kalut dengan pikiran buruknya. Pada akhirnya ketakutannya menjadi kenyataan saat sang dokter mengatakan ada janin yang kini tumbuh di rahimnya. Ingin rasanya ia menangis saat itu juga tapi ditahan sekuat mungkin karena tidak ingin terlihat bodoh di hadapan sang dokter.

Usia janinnya sudah memasuki minggu keenam. Kondisinya pun cukup sehat. Dokter menganjurkan agar ia memberi asupan makanan yang bergizi dan pastinya tidak boleh terlalu lelah. Karena bisa mempengaruhi kondisi ibu dan janinnya.

***

Nina meninggalkan rumah sakit dengan perasaan hancur bahkan ia enggan mengambil resep obat dari dokter.

Di sinilah sekarang ia berada. Taman yang rindang tak jauh dari rumah sakit. Kedua tangannya menutup wajahnya menyembunyikan tangisan. Ia tidak mungkin pulang dalam keadaan seperti ini. Hatinya hancur tak berbentuk. Tubuhnya bergetar menahan isak tangis merutuki nasibnya serta mencaci maki pria bajingan itu.

Tak jauh dari tempat Nina tampak seorang pria tengah memerhatikannya dengan pandangan sendu. Laki-laki itu ingin mendekat tapi diurungkan, takut membuat Nina semakin sedih karena saat ini suasana hatinya sedang kacau. Sebenarnya hari ini ada rapat penting di kantornya tapi saat ia menerima telepon dari anak buahnya mengenai gadis itu ia segera meninggalkan kantor padahal sang sekretaris sudah mengingatkan kalau ia harus menghadiri rapat yang sangat penting.

Kevin tak peduli, malah menyuruh sekretaris membatalkannya. Baginya kabar sang detektif lebih penting dari rapat apa pun. Suasana taman tidak terlalu ramai karena saat ini memang jam sibuk kantor dan orang-orang dengan segala aktivitasnya.

Perlahan Kevin memberanikan diri menghampiri gadis itu lalu duduk di pinggir kursi sampingnya. Karena perasaannya masih kalut Nina tidak menyadari kini ada seseorang di sebelahnya.

Hingga Kevin membuka suara, membuat tubuh Nina menegang mengenali suara bariton yang tidak ingin didengarnya lagi. Tentu saja pria ini sudah mengetahui tentangnya. Dengan uangnya ia bisa mendapatkan informasi apa pun dengan mudah.

"Aku akan bertanggung jawab. Janin itu tidak bersalah. Aku ingin kau mempertahankannya, aku juga ingin kau menerima dan menyayangi janin itu. Aku ... aku akan menikahimu!"

Kevin tak menyangka mengeluarkan kata-kata itu dengan lancar. Apa lagi sampai yakin mengucap pernikahan. Entahlah, apa yang ada dipikiran Kevin saat ini. Yang dirasakan hanya ingin Nina mempertahankan janinnya dan ingin janin itu lahir menjadi keturunannya. Kevin memang bajingan laknat, tapi tidak untuk anaknya. Ia sudah merasakan sakitnya hidup tanpa perhatian sang ayah yang pecundang.

Kevin tidak akan mengulangi perbuatan ayahnya. Ia telah berjanji pada mendiang sang ibu, sebrengsek apa pun dirinya, tidak akan pernah menelantarkan darah dagingnya. Anggaplah ini sebagai pertanggung jawaban perbuatannya kepada Nina. Paling tidak ia melakukan ini demi calon bayi mereka juga demi nama baik Nina dan seisi panti karena membiarkan gadis itu hamil tanpa suami.

Tak ingin berurusan dengan bajingan itu Nina segera beranjak pergi. Tapi sebelum terjadi Kevin segera menahannya, membuat Nina menatap tajam sepasang mata Kevin.

"Aku serius dengan ucapanku. Kuharap kau bisa memikirkannya. Ini demi kau, janin itu, Ibu Maria ... dan nama baik panti. Kau tak mau jika sampai orang lain memandang yang tidak-tidak perihal kehamilanmu?" ucapan Kevin mempengaruhi.

Semua yang dikatakan Kevin memang benar. Tapi Nina tidak mengiyakaan karena terlalu kecewa dengan semua ini.

"Kau puas sudah melakukan ini padaku, hah? Pria orogan sepertimu tak akan pernah mengerti tentang kesakitanku. Kau ... kau... bajingan berengsek yang tidak akan pernah aku maafkan. Aku membencimu!" Nina segera menepis kasar tangan Kevin yang menahannya. Lalu berlari meninggalkan Kevin yang terluka dengan ucapannya.

Pandangan Kevin tetap menatap gadis itu hingga punggungnya menghilang semakin jauh. Mengeraskan rahangnya menahan emosi. Jarinya terkepal kuat mencoba mengatur napas lalu mengembuskan kasar. Tangannya mengusap wajah sampai rambutnya ke belakang. Ekspresi wajahnya sangat frustrasi. Sambil memijat keningnya yang terasa penat Kevin kembali memikirkan ucapan Nina.

"Aku serius, Nina. Aku akan mengikatmu. Suka atau tidak suka aku akan menikahimu," gumamnya dengan tatapan nanar. Perlahan, Kepalanya menengadah mencoba melawan pergolakan batinnya.

Aku tidak akan pernah menelantarkan darah dagingku. Meski dia hadir tanpa keinginan kita, meski kehadirannya dengan cara yang salah, aku akan tetap bertanggung jawab.

.

.

*16 Oktober 2017

...aliceweetsz...

SIN & LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang