4

36 7 3
                                    

"Hei, apa yang kau lakukan?"

"Kau bisa tidak sih?"

"Pukul bolanya yang benar."

Laki-laki itu mendengus mendengar ucapan teman-temannya. Sesaat kemudian ia berjalan keluar lapangan tanpa menghiraukan panggilan teman-temannya.

"Hei, Hikaru! Kembali!" Teriak salah satu temannya yang berada di pinggir lapangan.

"Permainan belum selesai, Hikaru!" Teriak temannya lagi yang berada di depan wicket.

Hikaru mengabaikan semua panggilan serta teriakan teman-temannya. Ia berhenti di pinggir lapangan, mengambil minumnya kemudian meminumnya.

Ia melajutkan perjalanannya menuju lorong yang sering ia kunjungi. Seorang gadis keluar dari tempat persembunyiannya–balik tembok–dan segera mengikuti langkah Hikaru.

Mereka kini berada di sebuah tempat terbuka–atap. Tempat favorit Hikaru jika ia ingin sendiri atau merenungkan sesuatu.

Laki-laki itu berhenti di depan sebuah kursi panjang yang diapit oleh dua pohon. Si gadis itu pun ikut berhenti, menunggu apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh Hikaru.

"Sedang apa kau, Ai?" Tanya Hikaru dengan nada datar tanpa membalikkan tubuhnya.

Ai sedikit tersentak, ternyata Hikaru mengetahui dirinya menguntitnya. Tetapi, ia kembali menormalkan keadaan dengan berdeham pelan.

"Eum, aku hanya ingin menemuimu," jawab Ai.

"Untuk apa?" Hikaru mendudukkan dirinya di kursi dan kini ia berhadapan dengan Ai. "Sebaiknya kau kembali ke kelas dan belajar," lanjutnya dengan menatap Ai dalam

Ai seolah terbius oleh tatapan itu. Ia mengangguk kemudian berbalik menuju kelasnya.

***

Waktu pulang sekolah tiba. Hikaru terlihat buru-buru dan ia keluar dari sekolah lebih dulu dari temannya yang lain.

Ai yang melihat itu hanya diam. Biasanya mereka akan pulang bersama. Ai memikirkan segala yang terjadi. Apa ia berbuat salah?

Entahlah. Ia tidak tahu. Ia tidak merasa berbuat salah. Lalu apa? Biarkan pertanyaan itu menari di pikiran Ai.

"Ai-chan!" Ai menoleh saat merasa namanya dipanggil.

Ia mendapati temannya yang bernama Marin menatapnya dengan wajah sangat sangat ingin tahu.

Ai menghela nafas lelah. "Kenapa?" Tanyanya kemudian.

"Ayo, beritahu aku," jawab Marin.

"Beritahu apa?" Tanya Ai lagi sambil berjalan keluar kelas

Sekarang Marin yang menghela nafas. "Beritahu aku, kenapa Hikaru pulang duluan? Bukannya dia selalu pulang bersamamu?" Tanyanya.

"Tidak selalu kok," jawab Ai. Mereka mulai berjalan keluar gerbang sekolah. "Mungkin saja dia punya masalah? Aku tidak tahu."

"Kenapa kau tidak bertanya padanya?"

"Tidak tahu. Lagipula, jika dia ada masalah dia suka menyendiri."

"Eh, ke sana sebentar yuk!" Marin menarik tangan Ai sebelum Ai menyetujuinya atau tidak. Mereka sedikit berlari menuju seorang penjual ubi bakar.

"Kau mau?" Tawar Marin yang sedang memeluk sekantong besar ubi bakar.

"Tidak. Terimakasih," tolak Ai. Ia tidak nafsu makan.

"Oke, sampai mana tadi? Oh iya, memangnya benar ia suka menyendiri?" Tanya Marin. Ai tidak menyangka Marin akan melanjutkan pembicaraan tadi.

"Iya."

"Kenapa tidak kau temani?" Tanya Marin lagi.

Ai membuang nafas kasar. "Ia suka sendiri. Jika aku menemaninya, maka ia tidak sendiri."

"Nah." Marin mengangkat telunjuknya ke atas. "Ia memang tidak sendiri 'kan? Ia punya teman, ia punya kau." Marin menjeda sejenak ucapannya. "Karna tidak sendiri, ia seharusnya berbagi. Itu akan meringankan beban kita walau sedikit," lanjutnya.

"Terserah kau sajalah," tanggap Ai cuek.

Marin menghela nafas pasrah. "Yasudahlah, aku duluan. Sampai jumpa besok," kata Marin tak lupa senyumnya saat mereka berpisah di sebuah perempatan.

Ai hanya mengangkat tangannya rendah–tak berniat bersuara. Ia sebenarnya memikirkan ucapan Marin tadi. Tapi siapa peduli? Ia membuka pagar rumahnya dan masuk untuk mengistirahatkan pikirannya sejenak–oh, mungkin bukan sejenak?

***

Huhuhu...
Aku taktahu klo sdh menelantarkan ini selama beberapa bulan TvT
/kekadaygbacaaja :'v

Mkasii buat yg udh mau buang wktunya untuk baca^... Sampe sini pula:'

–Zare-Chan

Suicide ForestWhere stories live. Discover now