[Part 9]

353 48 8
                                    

"Mama...." Amanda memeluk ibunya.

"Akhirnya kamu main ke rumah. Dibolehin kan sama Mahesa?"

"Iya jelas lah, ma. Kalau gak aku gak mungkin kesini."

Alena Halim tersenyum bahagia. "Mama kangen kamu."

"Manda juga, ma."

"Kenapa kamu kelihatan pucat dan kurus, Manda?"

Amanda menyurukkan kepalanya kedalam dekapan Alena. "Gak apa-apa. Perasaan mama aja."

"Mahesa kenapa gak ikut kesini?"

"Sibuk."

Alena mendorong putrinya menjauh demi melihat wajah kuyu dan tatapan mata tanpa semangat Amanda. Detik itu juga ia yakin putrinya tidak baik-baik saja.

"Amanda, kamu harus jujur sama mama."

Amanda memeluk ibunya. Lagi.

"Apa Mahesa mengasari kamu?"

Gelengan kecil Amanda tidak membuat Alena tenang. Putrinya tidak pandai menyembunyikan apapun. Tapi yang lebih membuatnya khawatir adalah tatapan kosong Amanda. Saat kondisi keuangan keluarganya jatuh dan mereka harus menjual rumah dan semua aset untuk melunasi semua pesangon karyawan, Amanda masih terlihat bersemangat. Dia terpukul tapi Alena masih bisa melihat binar didalam tatapan putrinya ketika pertama kali mereka pindah ke rumah ini dan memulai usaha toko kelontong. Tapi hari ini, Amanda bukanlah anak perempuan yang ia kenal.

"Manda, mama mengandung kamu selama sembilan bulan. Mama membesarkan kamu bertahun-tahun lamanya. Kamu gak bisa bohongin mama, Manda."

Isak tertahan Amanda menguatkan kecurigaannya.

"Apa Mahesa menyakiti kamu?"

"Ma... Manda hamil." Alih-alih menjawab pertanyaan ibunya, Amanda justru mengucapkan kalimat itu.

"Ya terus kenapa, sayang?" Alena mengusap punggung putrinya untuk menenangkan.

"Mahesa gak mau ada anak, ma.... Dia... Dia...."

"Ssssttt...." Alena menepuk-nepuk pelan punggung Amanda yang mulai sesenggukan.

"Dia bilang kalau sampai Manda hamil dan gak mau gugurin bayinya, dia bakal bunuh Manda."

"Apa?" Alena memaksa Amanda untuk menatapnya. "Dia ngomong begitu sama kamu?"

Amanda mengangguk pelan.

"Kurang ajar! Dia akan berhadapan sama mama! Ayo kita ke kantornya sekarang!"

"Ma! Ma! Mama!" Amanda berlutut memeluk kaki Alena yang sudah berdiri penuh emosi. "Jangan, ma!".

"Kenapa, Manda?! Kamu kenapa baru kasih tahu mama sekarang?!"

Amanda menggeleng keras, masih memeluk erat kaki ibunya.

"Dia jahat sama kamu, Manda. Kenapa kamu bohongin mama?" Alena menarik putrinya agar berdiri. "Sudah! Hapus airmata kamu! Mama akan bantu kamu urus surat cerai."

"Maaa...." Amanda menggeleng. "Jangan sampai Mahesa tahu, ma."

"Kamu minta cerai sama dia! Kamu pulang kesini!"

"Ma.... Please...."

"Manda.... Kamu sadar kan?" Alena menangkup wajah putri bungsunya, ikut menangis melihat airmata pilu yang mengalir deras diwajah Amanda. "Kehamilanmu akan semakin besar, Manda. Mahesa lama-lama bisa tahu. Kamu harus minta pisah dari dia kecuali kamu memilih menggugurkan bayi ini."

Isak tangis Amanda semakin keras.

"Manda mau bayi ini, ma...."

"Kalau begitu tinggalkan Mahesa."

"Tapi... Manda juga mau Mahesa."

***

Alena dan Amanda sepakat untuk tidak membicarakan ini pada Andriyanto Halim. Jadi ketika ayahnya bertanya kenapa dua wanita tersayangnya menangis sambil berpelukan saat ia pulang dari pasar, keduanya kompak menjawab jika rasa rindu yang membuat mereka seperti itu. Andri hanya tertawa mendengarnya.

Menjelang sore, Amanda pulang dengan taksi. Diruang tengah, Mahesa sudah menyambutnya dengan wajah garang.

"Darimana aja kamu, Mikha?"

"Dari rumah mama." Amanda menjawab pendek dan berbelok menuju kamarnya.

"Bisa gak kalau pergi kemana-mana kamu pamit dulu?"

Amanda berhenti melangkah. "Aku sudah kirim pesan ke WAmu."

Mahesa menghela napas keras. "Oke. Sorry. HPku lowbatt."

"Papa titip salam."

"Hm...."

Amanda melanjutkan langkahnya.

"Minggu depan reuni sekolah. Kamu mau datang bareng aku?"

Amanda berbalik. Tersenyum meremehkan. "Gak salah, Ry?"

"Well...." Mahesa mengendikkan bahunya. "Kupikir gak ada salahnya mulai memperkenalkan kamu ke lingkaranku."

Amanda hampir saja menganga takjub jika tidak ingat bagaimana Mahesa bisa berubah dari satu sosok ke sosok lainnya tergantung mood. Kali ini moodnya pasti sedang cukup bagus.

"Sebaiknya kamu pikirkan lagi, Ry. Kamu bilang kamu gak serius sama pernikahan ini makanya kamu gak mau ada resepsi atau publikasi semacamnya. Apa kamu sudah mempertimbangkan resiko kalau kamu membawaku pergi ke reuni? Semua orang mungkin akan bertanya-tanya. Kita gak sedekat itu saat sekolah. Kamu juga tahu."

Tatapan Mahesa menyipit kesal. "Kamu banyak ngomong ya sekarang."

"Kamu mau aku gimana? Aku diam salah, aku ngomong salah. Kusarankan kamu pergi ke psikiater, Ryshaka."

Dan Amanda pun menutup pintu kamarnya dengan keras.

***

Ibunya benar. Menghadapi pria sakit seperti Mahesa memang butuh keberanian. Jika biasanya Mahesa mendominasi perang kalimat diantara mereka, kali ini Amanda harus melawannya. Alena berkata jika Mahesa tidak mungkin luluh. Jadi Amanda harus memilih. Bayinya atau pernikahannya dengan Mahesa.

Jika saja bisa, Amanda tentu ingin mempertahankan keduanya. Ada saat dimana dia pikir Mahesa bisa mulai berubah. Bisa berhenti membencinya. Karena demi Tuhan, kebencian pria itu benar-benar tidak beralasan. Mereka seharusnya bisa berdamai, atau... berpisah baik-baik. Tapi melihat mundur ke belakang, selama hampir 4 bulan pernikahannya, pria itu tidak pernah memperlakukannya dengan layak kecuali untuk tujuan bersandiwara didepan orang banyak. Pura-pura adalah keahlian Mahesa. Amanda yang salah. Karena dalam kepura-puraan itu ia berharap bisa memiliki Mahesa untuk dirinya sebagai sosok yang nyata.

Dia sudah kehilangan kebahagiaan masa muda karena usaha ayahnya yang pailit. Dia bahkan sudah pernah menjadi janda. Apakah ia harus menjanda sekali lagi? Tapi ya.... Ibunya benar. Amanda harus memilih. Jadi dia memilih bayinya. Dia memilih hidup bahagia membesarkan bayi itu dibanding mempertahankan pernikahannya dengan Mahesa yang masa depannya tidak jelas akan kemana.

"Ry, aku minta cerai."

14 Oktober 2017

9. FLARE [Jackson Yi]Där berättelser lever. Upptäck nu