#2

351 47 1
                                    

Bang Ali menyeretku ke papan informasi. Tangan kanannya mencari namaku dan namanya, sedangkan tangan kirinya memegang pergelangan tanganku dengan erat. Sesekali, aku menengok ke belakang, ke arah teman-teman dia. Dari tampangnya saja sudah kelihatan nakal. Aku tak mengerti, kenapa dia bisa berteman dengan mereka.

"MPLS kita sekelas di X-6." Itu yang kudengar dari dia. Aku hanya bisa menghela napas.

Aku hampir terjatuh jika saja dia tak segera menangkap tubuhku. Aku benar-benar kaget. Pria yang menabrakku dengan sengaja atau tidak, segera menghampiriku. Namun, dapat kurasakan hawa amarah dari dia kepada pria itu. Dia segera membantuku berdiri, dan menyuruhku untuk berdiri di belakangnya. Tangan kirinya kembali menggenggam tanganku.

"Heh, lo kalo jalan tuh liat-liat! Jangan maen asal tubruk aja! Lo pikir, ini station Gelora Bung Karno, sampe lo seenaknya lari-larian?" Dia menyentak pria itu. Dan, itu cukup membuatku merasa tak enak.

Aku mengusap bahunya, pelan. Mencoba menenangkannya. "Bang Ali, udah. Aku gak papa, kok."

"Tapi, lo hampir kenapa-napa, Prill! Coba bayangin kalo gak ada gue." tegasnya. Rahangnya terlihat mengeras.

"Kenapa lo gak pukul dia aja, Li?" Terdengar ucapan yang kuyakini berasal dari salah satu mulut tak bermoral teman-teman dia.

"Kalian jangan berlebihan." Kusindir mereka. Aku benar-benar tak suka. Mungkin, aku tak akan pernah suka dengan mereka. Kalau bisa, selama-lamanya.

Aku maju beberapa langkah, dan berdiri tepat di hadapan pria itu. Kuucapkan dengan tulus, "Maafin Bang Ali, ya? Aku juga minta maaf. Harusnya, aku gak ngehalangin jalan kakak."

Pria itu tersenyum. "Gak, kok. Gak papa. Saya juga yang salah, lari-larian. Maaf ya, Pri..." Pria itu terlihat meneliti papan nama yang ada di jasku. "Siapa nama kamu? Saya berasa susah mengejanya."

"Prilliendra Nataliansyah, panggilannya Prilly. Ini kembaran aku, Bang Aliandorexa Nathansyah, panggilannya Ali. Salam kenal ya, Kak Nizar." Aku tersenyum.

"Prill, kita pergi dari sini. Sekarang." Dia menarikku pergi, diikuti oleh teman-temannya yang membuatku langsung merasa risih.

×÷×

"Selamat datang untuk para adik-adik calon siswa SMAN 36 Bandung! Selama empat hari, kalian akan melaksanakan MPLS atau Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah dengan dibimbing kakak-kakak OSIS. Setelah MPLS selesai pada hari kamis, besoknya akan diumumkan pembagian kelas resmi kalian. Semoga kalian..."

Fokusku akan sambutan dari kepala sekolah langsung membuyar seketika saat tiba-tiba saja dia menyenderkan kepalanya di bahuku. Aku menoleh ke arahnya dengan pelan. Mataku beradu dengan mata dan senyumannya.

Dia berbisik, "Lo gak ngerasa risih, 'kan?"

"Aku kan kembaran kamu, Bang. Ngapain juga ngerasa risih." jawabku, tersenyum. Lebih tepatnya, terpaksa tersenyum. "Tapi, masalahnya umur kita itu sama. Dan, kemungkinan orang-orang akan nyangka kalau kita itu bukan saudara kembar, tapi sepasang kekasih."

"Yaudah, sih. Jangan terlalu dipikirin omongan orang lain. Entar, ubanan lagi. Masa iya, muka muda rambut tua." Dia tertawa kecil, lalu memejamkan matanya.

Aku memutar bola mataku, malas. Saat aku tak sengaja menengok ke samping, kulihat ada Kak Nizar duduk di sana. Ia yang menyadari aku sudah melihatnya, lalu tersenyum. Aku membalasnya.

"Kamu MPLS kelas berapa?" Kak Nizar bertanya sambil mengerutkan dahi dan menyipitkan matanya. Mungkin, karena sorotan matahari yang mulai naik.

Aku tak dapat menahan diriku untuk tidak tersenyum. "Aku kelas X-6. Bang Ali juga sama."

"Wah, saya kebetulan kebagian ngebimbing kelas X-6. Gak cuma sendirian, sih. Ada yang lainnya juga."

"Kalo gitu, setidaknya gak bakalan terlalu kaku banget di kelas. Atau, bisa juga disebut jaga image."

"Kamu kan orangnya juga ramah. Kalaupun jaga image, yang mau temenan sama kamu mah saya yakin banyak."

"Jangan kelamaan ngobrol sama kembaran gue. Nanti lo suka lagi."

Aku menoleh ke arah dia yang entah kapan sudah memperbaiki posisi duduknya saja. Dapat kulihat, matanya menatap tajam ke arah Kak Nizar. Sedangkan, raut wajah Kak Nizar sendiri seperti sedang menahan rasa kesalnya.

Aku menghela napas. Sudah kuduga, jika aku satu sekolah lagi dengannya, dia akan seperti ini. Selalu saja bersikap posesif. Seakan, aku itu tidak dianggapnya sebagai kembarannya sendiri.

"Ayo, adik-adik. Silahkan kalian masuk ke kelas MPLS kalian masing-masing. Kakak-kakak OSIS akan segera masuk."

Aku segera bangkit dari dudukku. Aku benar-benar merasa gerah berada di antara dua pria itu.

×÷×

Jangan lupa buat vote & comment, okay? Sayang kalian

twins?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang