Epilog

4.2K 319 72
                                    

Empat tahun berlalu...

* * *

"Jadi kamu udah tentuin mau magang di mana?" Sepiring pancake Hansa sajikan di hadapan Alby. Seminggu yang lalu mereka baru tiba dari Belanda. Dan kembali ke apartemen kecil namun penuh cerita itu.

"Udah, Nda." Alby menyiram pancake itu dengan sirup apel kesukaannya. "Nda udah dapet rumah barunya?"

"Papa kamu nyuruh tinggal di rumah Nek Na, kasihan Kakek nggak ada yang temenin." Sebenarnya Hansa malas untuk tinggal di sana, selain rumahnya yang cukup besar dan pasti butuh tenaga ekstra untuk mengurusnya, Hansa juga tidak terlalu betah di sana. "Tapi Nda masih nyari rumah baru kok. Uang papamu kan banyak, nggak bakal abis cuma buat beli satu rumah." Itu semua berkat Hansa yang selalu mengirit selama hidupnya. Apa salah satunya? Makan bubur dan telur. Jadi uang belanja Hansa bisa Hansa simpan di tabungannya. Berterimakasihlah Faris pada Tuhan karena sudah memilik istri seperti Hansa.

"Lagian masih ada tante Fara, ngapain mesti khawatir."

"Tantemu bentar lagi nikah, pasti dibawa sama suaminya. Kakek pasti kesepian." Faris yang baru keluar dari kamar menyauti ucapan Alby. "Nanti kan kamu di sana bisa lebih bebas, dulu waktu kamu kecil kamu betah banget di sana."

Hansa yang ada di belakang Faris memberi isyarat pada Alby bahwa apa yang di katakan oleh papanya itu sebuah kebohongan besar. Jangankan betah, digendong nek Na saja Alby sudah nangis, kecuali dengan Nathasa dan Fadhil. Alby selalu betah.

"Alby sih kalo udah magang mau ngekos aja," celetuk Alby enteng. Iya, Alby dan Eka berencana untuk menyewa sebuah apartemen. Sama seperti dulu, Hansa dan Faris. Saat mereka tinggal bersama.

"Nggak, Nda nggak ijinin. Sebelum kamu dapet kerja kamu masih tanggungan Nda dan papa!"

"Tapi Nda-"

"Nggak ada tapi, sayang." Hansa tersenyum manis di hadapan Alby. Saat itu suara pintu kamar Alby terbuka. Aldy keluar dengan pakaian yang sudah rapi.

"Nda juga dulu gitu, Nda nyamperin Papa ke Jakarta."

"Alby." Hansa memperingati Alby. "Itu kan beda."

"Pagi, Nda, Pa, Dek."

Alby yang mendengar sapaan dari Aldy untuknya hanya memutar bola matanya malas, semenjak Aldy sembuh Aldy selalu memanggil Alby dengan panggilan 'dek' dan Alby merasa kalau dirinya dikecilkan. "Mas, nggak usah panggil Dak, Dek." Aldy yang mendengarnya hanya tersenyum lembut, ia tidak menggubris Alby sama sekali. "Mas, kamu bener nggak mau kuliah? Langsung mau kerja di tempat Papa?"

"Itu contoh yang baik, By. Contoh kakakmu ini. Sayang, tolong ambilin mangkok." Teriak Faris pada Hansa.

"Inget ada anak, nggak usah sayang-sayangan." Timpal Alby. Alby memang anak yang ketus.

Hansa kembali dari dapur, ia membawakan roti panggang untuk Aldy. Selera makan Aldy dan Alby sedikit berbeda. Aldy lebih mirip Faris, sedangkan Alby lebih mirip dengan Hansa. Jadi setiap urusan makan Hansa selalu menyiapkan dua menu yang berbeda. Kesukaannya dan kesukaan Faris. "Ini mas, ini buat Mas Aldy."

"Makasih, Nda."

"Rugi kamu mas kalo nggak kuliah, nanti Eza manfaatin kamu lagi. Kan jadi kamu yang nafkahin dia."

Hansa dan Faris saling menatap. Sedang membahas apa kedua anak ini, kenapa tiba-tiba membahas nafkah-menafkahi. Aldy belum mau menikah. Hansa tidak melarang Aldy dalam urusan memilih pasangan, asalkan Aldy bahagia Hansa pasti akan bahagia. "Tunggu, siapa yang mau nikah?"

"Nda nggak tahu, kalo Mas Aldy mau tinggal bareng sama Eza?"

Aldy tersedak mendengar pertanyaan yang diajukan Alby pada Hansa. Rencananya Aldy akan memberitahu Hansa kalau dia sudah menemukan tempat tinggal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 28, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

REPLAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang